Kiprah Sekolah Tionghoa Chong Hua School Sultan Agung di Pematang Siantar

April 21, 2018
INFO PARAPAT -- Mungkin banyak orang yang tak tahu dan tak percaya kalau Sekolah yang saat sekarang ini bernama Yayasan Perguruan Sultan Agung yang berlokasi di Jalan Surabaya No. 19 Pematangsiantar itu, beberapa hari lagi tepatnya pada tanggal 9 September 2009 ternyata telah memasuki Usia ke 103 tahun atau 1 (satu) Abad lebih. Bahkan faktanya dengan usia 103 tahun sekolah ini termasuk salah satu sekolah swasta yang cukup tua di Indonesia dan sekolah nomor satu tertua untuk Sumatera Utara.

Sekolah ini berdiri seratus tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 9 September 1909, jauh sebelum kemerdekaan dan lebih kurang satu tahun sejak Kebangkitan Nasional. Pertama sekali berdiri sekolah ini diberi nama “ Chong Hua School “ atau disebut juga dengan nama” Zhong Hua” ataupun “Xian Zhong“ , nama sekolah ini berbau bahasa China karena sekolah khusus ini untuk warga Tionghoa yang ada di Siantar saat itu.

Yang sangat berjasa mendirikan sekolah ini adalah Lie Yen Liang. Chen Chun Ming, Chen Sun Tan, Cen Cong dan beberapa nama lainnya yang merupakan tokoh tokoh masyarakat Tionghoa yang peduli pendidikan masa itu. Awalnya ditengah keberadaan penduduk suku Tionghoa yang tidak begitu banyak dan umumnya bermatapencaharian dibidang perekonomian yaitu sebagai pedagang, lalu muncul ide dari tokoh masyarakat Tionghoa tersebut untuk mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak masyarakat Tionghoa. Maka atas izin pemerintahan Hindia Belanda masa itu didirikanlah sekolah “ Chong Hua School “ dengan lokasi sekolah tempat belajar siswanya masih menyewa sebuah rumah dan muridnya pun hanya masih beberapa orang saja. Dan pendidikan disekolah itupun masih untuk pendidikan tingkat sekolah rakyat (SR).

Tak lama kemudian salah seorang pendiri Bapak Chen Sun Tan atau yang dikenal dengan nama Tan Sun Tan menyumbangkan tanahnya seluas 4910 M2 untuk tempat didirikannya bangunan sekolah Chong Hua School tahap pertama sejarah pembangunan sekolah “Zhong Hua”. (Sekarang lokasi YP Sultan Agung Jalan Surabaya No 19 Pematangsiantar). Dengan berbagai upaya dan kegigihan Tan Sun Tan dan kawan kawan termasuk bantuan dari masyarakat Tionghoa akhirnya gedung sekolah dapat terbangun.

Menambah Bangunan Sekolah dari hasil Pasar Malam

Tahun ke tahun terus berjalan, sejalan bertambahnya penduduk suku Tionghoa, maka siswa Chong Hua School pun semakin bertambah bahkan warga Tionghoa yang berada dipinggiran kota Siantar banyak bersekolah ke sekolah tersebut, sehingga pada tahun 1931 siswa sekolah itu sudah mencapai 400 orang lebih dan otomatis ruang kelas yang ada sudah tidak mencukupi menampung pertambahan siswa.

Untuk itu lagi-lagi Tan Sun Tan dan kawan-kawan pendiri Chong Hua School berpikir keras untuk merencanakan pembangunan untuk menambah ruangan kelas, dan gambar sketsa bangunan pun telah dibuat oleh Tan Sun Tan. Namun karena dana pembangunan belum mencukupi, akhirnya Tan Sun Tan mendapat akal, dengan meminta izin kepada pemerintah untuk mengadakan Pasar Malam dan hasil dari pasar malam itu akan digunakan untuk pembangunan gedung sekolah Dan memang dari hasil pasar malam yang diadakan Tan Sun Tan dan kawan-kawan akhirnya kekuarangan dana untuk penambahan pembangunan gedung dapat teratasi dan pembangunannya pun akhirnya dapat terealisasi. Dan inilah tahap kedua sejarah pembangunan sekolah “Zhong Hua “.

Lima tahun kemudian yaitu pada Tahun 1936 kembali, kembali Chen Sun Tan alias Tan Sun Tan dan kawan kawan membuat tahap ketiga sejarah pembangunan Sekolah “Zhong Hua” dengan membangun fasilitas gedung tambahan lagi, dan sekaligus pada tahun itu juga Chong Hua School membuka Jenjang pendidikan Tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Dimasa jatuhnya Pemerintahan Penjajahan Belanda dan masuknya masa Penjajahan Jepang Chong Hua School juga mengalami tekanan, namun proses belajar mengajar masih tetap berjalan sebagaimana mestinya. Namun demikian saat itu keadaan telah mempengaruhi pola pikir masyarakat dan terjadi perpecahan dan perbedaan pandangan, dan perbedaan pandangan itu juga terjadi di lingkungan masyarakat Tionghoa yang akhirnya juga terbawa ke lingkungan sekolah Zhong Hua.

Perbedaan pandangan diantara masyarakat Tionghoa yang telah terbawa ke dalam lingkungan sekolah masih tetap berlangsung meskipun era Penjajahan Jepang telah berakhir dengan masuknya era kemerdekaan.. Puncak perselisihan di lingkungan sekolah terjadi sekitar tahun 1948 sampai dengan 1950. dan pada tahun 1948-1950 terjadi perebutan kekuasaan Kepengurusan dilingkungan sekolah Zhong Hua. Tapi perselisihan itu tidak berlangsung lama, sebab setahun kemudian yaitu pada tahun 1951 Kepemimpinan Chong Hua School kembali dipegang oleh pengurus terdahulu.

Delapan tahun kemudian yaitu pada tahun 1958 terjadilah penggantian Pengurus Yayasan Chong Hua School, dan pengurus yang terpilih antara lain : Si Ping Sin, Huang Yi Chang, Chen Kui Chuan, Si Nan dan beberapa nama lainnya. Namun setelah setahun pergantian kepengurusan yakni pada tahun 1959 Pemerintah mengeluarkan Peraturan bahwa sekolah yang awalnya dibentuk berdasarkan kesukuan terutama sekolah Tionghoa termasuk Chiong Hua School berada dibawah kekuasaan Pengawasan Tentara dan bersamaan itu pula keluar Larangan dari pemerintah bahwa sekolah tidak boleh mengajarkan bahasa Tionghoa. Sehingga saat itu juga Chong Hua School berubah nama menjadi PPS (Panitia Pengawas Sekolah). Kendati telah berganti nama dan berada dibawah pengawasan tentara tapi kendali sekolah tetap berada dibawa pengurus yayasan.

Kondisi dibawah pengawasan tentara terus berjalan sampai dengan terjadinya pergolakan G 30 S PKI tahun 1965. Untuk menghindari penutupan sekolah yang dilakukan oleh pemerintah akibat bias dari Pemberontakan G 30 S PKI, pengurus yayasan saat itu mengutus Kepala Sekolah bernama Sie Chien Fang agar bekerjasama dengan para pendidik dari Medan untuk mengadakan komunikasi dengan pihak Depertemen Pendidikan dan pihak Ketentaraan di Medan.

Upaya yang dilakukan Kepala sekolah Sie Chien Fang dengan bantuan Lae Se Sing dan Siau Jin Hua yang merupakan para pendidik di Medan, akhirnya membuahkan hasil dan Komandan Ketenteraan resmi menjadi Pelindung dan Penasehat Sekolah, sehingga sekolah pun terlepas dari kesulitan. Lalu sejak saat itu sekolah kembali berubah nama dari PPS (Panitia Pengawas Sekolah ) menjadi PN Sehati (Perguruan Nasional Sehati) atau saat itu disebut dengan Sekolah Sehati. Dan Sejak saat itu sebutan nama PN Sehati cukup terkenal dan melekat dihati masyarakat, bahkan sampai saat sekarang ini masih banyak orang terutama dari kalangan orang tua yang menyebut Sultan Agung dengan PN Sehati.

Untuk lebih menguatkan eksistensi PN Sehati, setahun kemudian yakni pada tahun 1966, atas perundingan bersama, pengurus yayasan mengundang beberapa tokoh muda etnis Tionghoa untuk berpartisipasi dalam mengurusi sekolah. Tokoh pemuda yang diundang diantaranya Yao Yong Cien, Se Chi Kuang, Lie Zhi He, Lie Jin Lin, Chang Muli, Cen Se Phei, Si Fu Ceng, Mo Ping Sin, Si Te Ming dan beberapa nama lainnya. Kelompok tokoh muda ini yang disebut masa itu sebagai “Panitia Penolong”.

Dua tahun berikutnya pada tahun 1968 muncul lagi peraturan baru dibidang pendidikan, pemerintah mengeluarkan izin bagi yang tidak berwarganegara untuk menyelenggarakan “Sekolah Untuk Suku Khusus”, dan dibawah pimpinan Ye Jin Cong PN Sehati berubah fungsi sebagai “Sekolah yang mengatasi kesulitan suku khusus”. Saat itu para pendidiknya adalah guru-guru nomor satu dari Sumatera Utara yang didatangkan dari Sekolah Nan An Medan, bahkan ada tamatan dari Universitas Thai Ta Taiwan dan Universitas dari Hongkong.

Untuk mengoptimalkan manajemen kepengurusan sekolah dan sekaligus usaha kaderisasi kepengurusan sekolah, pada tahun 1972 terjadi perubahan struktur internal di PN Sehati, dimana Yayasan memutuskan mengangkat Wu Tien Yu (Paul Wu) menjadi Direktur Pelaksana (Kepsek) PN Sehati.

Selanjutnya pada tahun 1975 kembali menjadi kembali sekolah mengalami krisis, karena pemerintah mengumumkan peraturan baru bahwa semua sekolah Tionghoa harus diubah menjadi sekolah Nasional dan dilarang mengajarkan Bahasa Tionghoa. Masih menurut peraturan itu, siswapun harus berkewarganegaraan Indonesia, dan jumlah siswa pribumi dan nonpribumi haruslah sama, Inilah yang disebut dengan masa pembauran.

Akibat peraturan itu akhirnya sangat susah untuk melakukan penyesuain keadaan, dan ini spontan menimbulkan perbedaan pandangan antara pihak sekolah dengan pihak depertemen pendidikan. Dengan kondisi seperti itu lalu pemerintah mengambil alih kekuasaan didalam sekolah dan pihak yayasan hanya diberi wewenang untuk mengatur keuangan saja. Sebagai bentuk mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut maka Direktur Pelaksana (Kepala Sekolah) Wu Tien Yu (Paul Wu) rela mengundurkan diri sebagai salah satu syarat yang dibuat pemerintah, karena kalau tidak mengundurkan diri maka pemerintah akan mengambil alih secara keseluruhan dan sekolah PN Sehati akan dijadikan sekolah negeri.

Untuk mempertahankan PN Sehati yang merupakan harta peninggalan leluhur “Chong Hua School” dimana saat itu berada dalam kondisi krisis pasca keluarnya peraturan pemerintah yang mengharuskan merubah status sekolah menjadi sekolah nasional, maka atas masukan Ye Jin Song dimintakan supaya Ibrahim Asikin (ShieChien Fang) yang sudah menjadi pengusaha berkenan kembali ke dunia pendidikan untuk mengurus sekolah dengan jabatan sebagai pengurus harian, karena Ibrahim Asikin dinilai memenuhi persyaratan sebagaimana yang disyaratkan pemerintah masa itu.

Memang akhirnya PN Sehati dapat diselamatkan dari krisis dan pengambilalihan pemerintah dengan terbentuknya Pengurus Yayasan Baru pada tahun 1977 dan PN Sehati berubah nama menjadi Perguruan Sultan Agung, karena memang saat itu disyaratkan pemerintah nama sekolah swasta diambil dari nama pahlawan. Adapun para pengurus yayasan antara lain Julius (Yu Chu Fa), Muchsin Hasan (Mok Ping Sin), Yap Li Wen, Witarmin ( Shi De Ming), Cai Jin Yen, Ibrahim Asikin (Shie Chien Fang), Cang Ta Wen, Cang Da Weng, dan yang menjabat Ketua Yayasan adalah Ye Jing Cong, Lie Hong Cao. Saat itu Ibrahim Asikin yang juga menjabat sebagai Pengurus Harian, disebabkan kesibukan aktivitas bisnis dan keluarga akhirnya menyerahkan jabatan pengurus harian kepada Muchsin Hasan.

Era Baru sebagai Sekolah Nasional

Sejak pergantian Kepengurusan yayasan, dan berubah menjadi sekolah nasional dengan bergantian nama menjadi Perguruan Sultan Agung, sekolah ini memasuki era baru, melalui usaha peningkatan kegiatan proses belajar mengajar, peningkatan kegiatan ekstra kurikuler, dan peningkatan kegiatan lainnya sehingga, sehingga hal itu secara signifkan meningkatkan nama baik Perguruan Sultan Agung. Selain itu Sekolah juga semakin berkembang dengan memiliki jenjang pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Lalu pada tahun 1981, Yayasan Sultan Agung dipimpin oleh Muchsin Hasan dan disaat itu Pengurus merumuskan strategi pengembangan sekolah melalui peningkatan dalam rangka meningkatkan kegiatan proses belaja mengajar dengan meningkatkan fasilitas seperti ruang belajar, ruang administrasi, perpustakaan, laboratorium, dan memulai memperkenalkan computer kepada anak didik, serta peningkatan kegiatan ekstra kurikuler seperti drumband, bola basket, bola volley, tari-tarian, seni rupa, seni lukis dan seni suara.

Sekolah Swasta yang Berkualitas

Peningkatan demi peningkatan terus terjadi dan Sultan Agung semakin eksis sebagai sekolah nasional. kemajuan yang signifikan terjadi mulai tahun 2000 sejak Yayasan Perguruan Sultan Agung diketuai oleh Hasan Wijaya (A Ken). Pada Tahun itu juga Perguruan Sultan Agung menambah jenjang pendidikan dengan membuka Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE). Dengan berdirinya STIE Sultan Agung otomatis fasilitas pun harus bertambah dan itu terealisasi dengan penambahan 10 ruangan kelas, ruang laboratorium Computer, Laboratorium IPA dan Laboratorium Bahasa. STIE Sultan Agung sekarang ini memiliki beberapa beberapa jurusan yang antara lain Jurusan Manajemen S1, Jurusan Akutansi D3, dan Manajemen Pemasaran D3 yang ketiga jurusan tersebut telah berstatus Terakreditasi. Dan pada tahun 2008 lalu STIE menambah Jurusan Akutansi S1 yang saat ini statusnya masih dalam proses evaluasi.

Sejak dibawah kepemimpinan Hasan Wijaya terjadi penambahan Komputer yang sebelum tahun 2000 hanya memiliki 20 buah komputer saat ini Perguruan Sultan agung telah memiliki 300 buah computer. Selain itu berbagai penambahan fasilitas terus berlangsung seperti pengadaan genset dengan kekuatan besar untuk mengatasi kekuarangan listrik, memperabaharui perpustakaan, penambahan area bermain untuk Taman Kanak-Kanak, serta pengadaan fasilitas transport dengan membeli Bus baru untuk keperluan siswa dan sebuah mobil kijang untuk keperluan guru dan pegawai.

Selain peningkatan dibidang pendidikan sekolah juga memberikan perhatian ekstra terhadap kemajuan dibidang olah raga, sejak tahun 2001 Sultan Agung secara rutin mnggelar Kejuaraan Bola Basket Sultan Agung Cup yang amerupakan even kejuaraan antar sekolah se Sumatera Utara. Dan 4 tahun terakhir Perguruan Sulta Agung merupakan Juara bertahan, selain itu Sultan Agung juga mengukir prestasi pada tahun 2008 sebagai Juara II di kejuaraan Bola Basket antar sekolah se Sumatera Utara dan Juara II Kejuaraan antar pelajar Piala Yamaha yang berlangsung di Medan.

Disamping Bola Basket sekolah juga mengadakan Pelatihan Tae Kwan Do dan Drum Band, dan untuk Kegiatan Drum Band, Sultan Agung masih diakui sebagai Drumband terbaik di daerah ini, dan pada HUT Kodam Bukit Barisan yang adi pusatkan di Kota Pematangsiantar Atraksi Drumband Sultan Agung lah dimintakan tampil memeriahkan acara tersebut.

Prestasi yang sangat spektakuler yang diraih oleh Perguruan Sultan Agung adalah tampilnya para penari pelajar Yayasan Perguruan Sultan Agung pada tanggal 17 Agustus 2008 di Istana Merdeka Jakarta dalam Acara resmi Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 63. Itu adalah penampilan kedua penari Perguruan Sultan Agung di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudoyono di tahun 2008 setelah acara Pesta Danau Toba bulan Juni 2008. Sejak itu penari Sultan Agung kerap diundang tampil dalam even dan acara besar seperti pada HUT Kodam Bukit Barisan yang diadakan di Pematangsiantar 2009.

Sebagai sekolah nasional yang saat ini menjadi salah satu sekolah swasta favorit di Pematangsiantar, di usianya yang ke 100 tahun atau satu Abad Sultan Agung seakan tak henti berbenah menuju kemajuan di bidang pendidikan. Ini merupakan kerja keras Pengurus Yayasan dan segenap pelaku pendidikan yang mengabdi di Sultan agung. Di bawah komando Hasan Wijaya selaku Ketua Yayasan, Perguruan sultan Agung saat ini memiliki anak didik di tingkat TK sebanyak 350 orang, SD 1020 orang, SMP 650 orang, SMU 820 orang serta STIE sebanyak 600 orang. Bahkan untuk tingkat kelulusan beberapa tahun terkhir Perguruan Sultan Agung merupakan memiliki persentasi tingkat kelulusan tertinggi, dan pada tahun 2009 ini tinggkat kelulusannya mencapai 100 persen.

Kini Perguruan Sultan Agung telah memperlihatkan jati diri sebagai sekolah nasional, terbukti bahwa yang mengecam pendidikan disekolah tersebut tidak lagi didominasi oleh suku etnis Tionghoa, persentasi siswa yang besekolah di Perguruan Sultan Agung terdiri dari 35 persen yang beragama Islam, 35 persen yang beragama Kristen dan 30 persen yang beragama Budha. Sementara persentase untuk kategori kalangan pribumi sebesar 65 persen dan non pribumi hanya sebesar 35 persen.

Berarti memang saat ini wajah Perguruaan Sultan Agung benar-benar sekolah nasional yang mengutamakan kualitas pendidikan, meskipun tak bisa kita pungkiri bahwa perjalan sejarah telah mencatat bahwa Sultan Agung merupakan titisan leluhur sejak 100 tahun yang lalu dari kalangan tokoh etnis Tionghoa yang sesungguhnya peduli dengan pendidikan. Selamat Ulang Tahun Ke 100 YP Sultan Agung. (sumber)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »