Israel Gunakan Warga Palestina untuk Menindas Sesama

Oktober 29, 2025

Kekerasan di Tepi Barat kembali membara. Dalam laporan investigatif Al Jazeera yang dirilis pekan ini, terungkap praktik mencengangkan: tentara Israel diduga memanfaatkan warga Palestina sendiri untuk kepentingan militer mereka. Di Gaza, kelompok bersenjata yang disebut “Abu Shabab” dituding menjadi kaki tangan Israel dalam melawan warga sipil dalam proyek genosida, sementara di Tepi Barat, penduduk setempat dipaksa bekerja tanpa bayaran di bawah ancaman pembalasan kejam.

Tragedi kemanusiaan itu terutama terjadi di kawasan Tulkarem dan kamp pengungsi Nur Shams. Kedua daerah yang sebelumnya padat penduduk kini berubah menjadi puing-puing. Laporan Al Jazeera menyebut, operasi militer Israel telah membakar blok apartemen, menghancurkan toko-toko, dan menggusur ribuan orang dari rumah mereka. Bau asap dan debu masih menyelimuti udara, menyisakan kesunyian dan trauma mendalam.

Menurut catatan PBB, agresi terbaru ini merupakan bagian dari Operation Iron Wall—kampanye militer besar Israel sejak awal 2025. Operasi ini diklaim bertujuan menumpas jaringan militan Palestina, namun di lapangan justru menargetkan warga sipil. UNRWA mencatat lebih dari 32.000 warga Palestina mengungsi dari Tulkarem, Nur Shams, dan Jenin. Banyak dari mereka kini hidup tanpa tempat tinggal, tanpa air bersih, dan tanpa rasa aman.

Israel menegaskan operasi tersebut sebagai langkah mempertahankan keamanan nasional. Namun berbagai lembaga HAM internasional menilai tindakan itu telah melewati batas kemanusiaan. Human Rights Watch dan Amnesty International mengecam keras praktik eksploitasi warga Palestina sebagai bentuk “dehumanisasi sistematis.”

Salah satu korban, Abdel (nama samaran), menceritakan kepada Al Jazeera bagaimana dirinya dipaksa bekerja untuk tentara Israel sejak Februari lalu. Ia diperintahkan memperbaiki jaringan listrik dan membawa makanan bagi para prajurit. Ketika menolak, tentara mengancam akan meratakan rumahnya. “Salah satu dari mereka berkata, ‘Akulah tuanmu di sini, kamu bekerja untukku,’” kisah Abdel lirih.

Abdel bahkan mengaku harus mengeluarkan hingga 1.500 shekel—sekitar Rp 7 juta—setiap bulan untuk memenuhi permintaan para tentara agar keluarganya tetap aman. Ceritanya menggambarkan pola intimidasi yang sistematis: bekerja tanpa bayaran, atau kehilangan segalanya.

Nasib serupa dialami oleh Nihad, warga lain yang rumahnya diambil alih pasukan Israel selama 75 hari. “Mereka tidur di ruang tamu saya, sementara saya dan anak-anak harus berpindah ke gudang belakang,” ujarnya. Setelah tentara pergi, yang tersisa hanya dinding berlubang dan kenangan buruk.

Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bagaimana Israel menekan warga Palestina dengan dua cara: kekuatan senjata dan paksaan psikologis. Di Tepi Barat, ancaman pembongkaran rumah digunakan untuk memaksa warga tunduk. Di Gaza, taktik berbeda digunakan—Israel dituding memanfaatkan kelompok kriminal lokal seperti “Abu Shabab” untuk menekan warga sipil dan membungkam perlawanan.

Sumber-sumber lokal menyebut, kelompok “Abu Shabab” beroperasi layaknya geng bersenjata yang menebar teror di antara warga Gaza. Mereka memungut “pajak keamanan,” menakut-nakuti warga, dan menekan kelompok pro-perlawanan. Banyak analis percaya, kelompok itu mendapat perlindungan tidak langsung dari otoritas pendudukan Israel demi menciptakan kekacauan internal.

Tujuannya, menurut sejumlah pengamat Timur Tengah, adalah memecah solidaritas di kalangan warga Palestina. Dengan memanfaatkan segelintir orang untuk menindas sesama, Israel dapat mengklaim bahwa kekacauan di Gaza adalah akibat konflik internal, bukan agresi eksternal. Strategi semacam ini disebut “kolonialisme perwakilan”—metode lama untuk mengendalikan wilayah tanpa kehadiran militer langsung.

Pola yang sama terlihat di Tepi Barat, di mana kerja paksa dijadikan alat kendali sosial. Rumah-rumah warga dijadikan pos militer sementara, anak-anak laki-laki remaja dipaksa mengangkut peralatan, dan perempuan diminta memasak untuk pasukan. “Kami bukan lagi manusia di mata mereka,” kata seorang saksi kepada jurnalis Al Jazeera.

Laporan itu juga menyebutkan bahwa sejak awal tahun, sedikitnya 198 warga Palestina tewas akibat operasi militer di Tepi Barat. Sebagian besar korban adalah warga sipil yang tertembak saat mencoba melarikan diri dari daerah operasi. Tentara Israel, menurut laporan, bahkan melarang keluarga korban mengambil jenazah sebelum “izin militer” diberikan.

Kondisi di kamp Nur Shams digambarkan oleh penduduk sebagai “neraka terbuka.” Generator listrik disita, air bersih diblokade, dan akses ke rumah sakit dibatasi. Tentara mendirikan pos pemeriksaan di setiap pintu masuk, menjadikan seluruh kamp seperti penjara raksasa.

Sementara itu, pemerintah Israel menolak tudingan kerja paksa dan menyebut laporan Al Jazeera sebagai “propaganda politik.” Namun gambar-gambar satelit dan rekaman warga memperlihatkan kehancuran luas di Tulkarem dan Nur Shams, yang sulit disangkal.

PBB melalui UNRWA menyerukan penyelidikan independen dan meminta Israel menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap warga sipil. Sekretaris Jenderal PBB bahkan menyebut tindakan tersebut sebagai “eksploitasi yang melanggar hukum internasional.”

Masyarakat internasional kini menunggu langkah konkret dunia untuk menghentikan penderitaan ini. Negara-negara Arab menyerukan sidang darurat di Dewan Keamanan PBB, namun hingga kini belum ada resolusi yang disepakati.

Di tengah kebisuan global, warga Palestina kembali menjadi korban dalam permainan kekuasaan yang tak berkesudahan. Mereka dipaksa menanggung beban perang yang bukan mereka mulai, bahkan oleh tangan-tangan sesama yang telah dijerat oleh sistem pendudukan.

Gaza dan Tepi Barat kini menjadi dua wajah dari luka yang sama: satu hancur karena bom, satu lagi karena perbudakan modern. Di balik reruntuhan Tulkarem dan kekacauan Gaza, terpantul ironi besar dunia modern—ketika penindasan bisa dijalankan melalui tubuh dan ketakutan korban sendiri.

Dan selama dunia hanya diam, operasi semacam ini akan terus berulang—dengan wajah berbeda, tetapi tujuan yang sama: menundukkan perlawanan dengan memecah persaudaraan rakyat Palestina sendiri.

Share this

Related Posts

Latest
Previous
Next Post »