Israel Gunakan Warga Palestina untuk Menindas Sesama

Oktober 29, 2025 Add Comment

Kekerasan di Tepi Barat kembali membara. Dalam laporan investigatif Al Jazeera yang dirilis pekan ini, terungkap praktik mencengangkan: tentara Israel diduga memanfaatkan warga Palestina sendiri untuk kepentingan militer mereka. Di Gaza, kelompok bersenjata yang disebut “Abu Shabab” dituding menjadi kaki tangan Israel dalam melawan warga sipil dalam proyek genosida, sementara di Tepi Barat, penduduk setempat dipaksa bekerja tanpa bayaran di bawah ancaman pembalasan kejam.

Tragedi kemanusiaan itu terutama terjadi di kawasan Tulkarem dan kamp pengungsi Nur Shams. Kedua daerah yang sebelumnya padat penduduk kini berubah menjadi puing-puing. Laporan Al Jazeera menyebut, operasi militer Israel telah membakar blok apartemen, menghancurkan toko-toko, dan menggusur ribuan orang dari rumah mereka. Bau asap dan debu masih menyelimuti udara, menyisakan kesunyian dan trauma mendalam.

Menurut catatan PBB, agresi terbaru ini merupakan bagian dari Operation Iron Wall—kampanye militer besar Israel sejak awal 2025. Operasi ini diklaim bertujuan menumpas jaringan militan Palestina, namun di lapangan justru menargetkan warga sipil. UNRWA mencatat lebih dari 32.000 warga Palestina mengungsi dari Tulkarem, Nur Shams, dan Jenin. Banyak dari mereka kini hidup tanpa tempat tinggal, tanpa air bersih, dan tanpa rasa aman.

Israel menegaskan operasi tersebut sebagai langkah mempertahankan keamanan nasional. Namun berbagai lembaga HAM internasional menilai tindakan itu telah melewati batas kemanusiaan. Human Rights Watch dan Amnesty International mengecam keras praktik eksploitasi warga Palestina sebagai bentuk “dehumanisasi sistematis.”

Salah satu korban, Abdel (nama samaran), menceritakan kepada Al Jazeera bagaimana dirinya dipaksa bekerja untuk tentara Israel sejak Februari lalu. Ia diperintahkan memperbaiki jaringan listrik dan membawa makanan bagi para prajurit. Ketika menolak, tentara mengancam akan meratakan rumahnya. “Salah satu dari mereka berkata, ‘Akulah tuanmu di sini, kamu bekerja untukku,’” kisah Abdel lirih.

Abdel bahkan mengaku harus mengeluarkan hingga 1.500 shekel—sekitar Rp 7 juta—setiap bulan untuk memenuhi permintaan para tentara agar keluarganya tetap aman. Ceritanya menggambarkan pola intimidasi yang sistematis: bekerja tanpa bayaran, atau kehilangan segalanya.

Nasib serupa dialami oleh Nihad, warga lain yang rumahnya diambil alih pasukan Israel selama 75 hari. “Mereka tidur di ruang tamu saya, sementara saya dan anak-anak harus berpindah ke gudang belakang,” ujarnya. Setelah tentara pergi, yang tersisa hanya dinding berlubang dan kenangan buruk.

Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bagaimana Israel menekan warga Palestina dengan dua cara: kekuatan senjata dan paksaan psikologis. Di Tepi Barat, ancaman pembongkaran rumah digunakan untuk memaksa warga tunduk. Di Gaza, taktik berbeda digunakan—Israel dituding memanfaatkan kelompok kriminal lokal seperti “Abu Shabab” untuk menekan warga sipil dan membungkam perlawanan.

Sumber-sumber lokal menyebut, kelompok “Abu Shabab” beroperasi layaknya geng bersenjata yang menebar teror di antara warga Gaza. Mereka memungut “pajak keamanan,” menakut-nakuti warga, dan menekan kelompok pro-perlawanan. Banyak analis percaya, kelompok itu mendapat perlindungan tidak langsung dari otoritas pendudukan Israel demi menciptakan kekacauan internal.

Tujuannya, menurut sejumlah pengamat Timur Tengah, adalah memecah solidaritas di kalangan warga Palestina. Dengan memanfaatkan segelintir orang untuk menindas sesama, Israel dapat mengklaim bahwa kekacauan di Gaza adalah akibat konflik internal, bukan agresi eksternal. Strategi semacam ini disebut “kolonialisme perwakilan”—metode lama untuk mengendalikan wilayah tanpa kehadiran militer langsung.

Pola yang sama terlihat di Tepi Barat, di mana kerja paksa dijadikan alat kendali sosial. Rumah-rumah warga dijadikan pos militer sementara, anak-anak laki-laki remaja dipaksa mengangkut peralatan, dan perempuan diminta memasak untuk pasukan. “Kami bukan lagi manusia di mata mereka,” kata seorang saksi kepada jurnalis Al Jazeera.

Laporan itu juga menyebutkan bahwa sejak awal tahun, sedikitnya 198 warga Palestina tewas akibat operasi militer di Tepi Barat. Sebagian besar korban adalah warga sipil yang tertembak saat mencoba melarikan diri dari daerah operasi. Tentara Israel, menurut laporan, bahkan melarang keluarga korban mengambil jenazah sebelum “izin militer” diberikan.

Kondisi di kamp Nur Shams digambarkan oleh penduduk sebagai “neraka terbuka.” Generator listrik disita, air bersih diblokade, dan akses ke rumah sakit dibatasi. Tentara mendirikan pos pemeriksaan di setiap pintu masuk, menjadikan seluruh kamp seperti penjara raksasa.

Sementara itu, pemerintah Israel menolak tudingan kerja paksa dan menyebut laporan Al Jazeera sebagai “propaganda politik.” Namun gambar-gambar satelit dan rekaman warga memperlihatkan kehancuran luas di Tulkarem dan Nur Shams, yang sulit disangkal.

PBB melalui UNRWA menyerukan penyelidikan independen dan meminta Israel menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap warga sipil. Sekretaris Jenderal PBB bahkan menyebut tindakan tersebut sebagai “eksploitasi yang melanggar hukum internasional.”

Masyarakat internasional kini menunggu langkah konkret dunia untuk menghentikan penderitaan ini. Negara-negara Arab menyerukan sidang darurat di Dewan Keamanan PBB, namun hingga kini belum ada resolusi yang disepakati.

Di tengah kebisuan global, warga Palestina kembali menjadi korban dalam permainan kekuasaan yang tak berkesudahan. Mereka dipaksa menanggung beban perang yang bukan mereka mulai, bahkan oleh tangan-tangan sesama yang telah dijerat oleh sistem pendudukan.

Gaza dan Tepi Barat kini menjadi dua wajah dari luka yang sama: satu hancur karena bom, satu lagi karena perbudakan modern. Di balik reruntuhan Tulkarem dan kekacauan Gaza, terpantul ironi besar dunia modern—ketika penindasan bisa dijalankan melalui tubuh dan ketakutan korban sendiri.

Dan selama dunia hanya diam, operasi semacam ini akan terus berulang—dengan wajah berbeda, tetapi tujuan yang sama: menundukkan perlawanan dengan memecah persaudaraan rakyat Palestina sendiri.

‎Upaya Keturunan Johor Kepung Sumatera dan Kalimantan

Oktober 18, 2025 Add Comment
‎Siak Sri Indrapura, sebuah kesultanan yang lahir dari rahim konflik dinasti di Selat Malaka, berdiri tegak sebagai kekuatan baru yang berusaha mempreteli hegemoni kerajaan lama, termasuk Aceh Darussalam. 
‎Didirikan oleh Raja Kecik pada tahun 1723 M, Siak bukanlah sekadar penerus, melainkan manifestasi dari upaya Kerajaan Johor untuk bangkit dari kehancuran pasca-Malaka. Keterlibatan Johor dalam perang segitiga melawan Portugis dan Aceh usai kejatuhan Malaka di tangan Portugis pada 1511 M menjadi akar yang panjang dari konflik politik ini.
‎Johor, yang terus berjuang mempertahankan warisan Melayu, pada akhirnya harus melihat kekuatannya terbelah, yang melahirkan Siak sebagai pusat kekuasaan baru di hulu Sungai Siak.
‎Dalam upayanya membangun hegemoninya, Siak melanjutkan tradisi peluasan wilayah di sepanjang Pantai Timur Sumatera. Di bawah kepemimpinan Sultan-sultan penerusnya, ambisi Siak untuk menguasai jalur dagang strategis di Selat Malaka semakin menguat, berhadapan langsung dengan klaim kedaulatan Aceh yang secara tradisional menguasai pesisir utara dan barat Sumatera.
‎Wilayah-wilayah seperti Asahan, Deli, dan Langkat di Sumatera Timur menjadi sasaran utama ekspansi Siak, yang berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di sana. Ini menjadi salah satu fase penting dalam sejarah politik Melayu, di mana Siak muncul sebagai kekuatan penyeimbang baru yang berusaha membebaskan wilayah dari pengaruh Aceh.
‎Usaha Siak untuk mendominasi tidak selalu berjalan mulus. Di pedalaman Sumatera, perlawanan lokal juga terjadi. Salah satu kelompok yang gigih adalah marga Hasibuan dari Huristak. 
‎Perlawanan dari marga, yang pernah bersekutu dengan Aceh dan Ottoman (Si Turki) melawan Portugis ini merupakan salah satu contoh bagaimana dinamika kekuasaan tidak hanya melibatkan kerajaan besar, tetapi juga kekuatan-kekuatan lokal yang mempertahankan otonominya.
‎Menariknya, Kerajaan Huristak, yang berpusat di pedalaman, telah resmi bercorak Islam dan menjalin relasi, bahkan terlibat peperangan, dengan Siak.
‎Hubungan ini menunjukkan jalinan politik yang kompleks antara kerajaan-kerajaan Muslim di Sumatera, yang seringkali bersifat aliansi sekaligus konfrontasi.
‎Kekuasaan Siak mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Assaidis Assyarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi (1784-1810), yang lebih dikenal sebagai Sultan Syarif Ali. Pada masa ini, hegemoni Kesultanan Siak tidak hanya meliputi seluruh Riau daratan dan Pelalawan, tetapi juga wilayah di sepanjang Pantai Timur Sumatera seperti Asahan, Deli, Langkat, Temiang, dan Bedagai, bahkan menjangkau bagian selatan Aceh seperti Barus dan Singkil. Inilah masa kebesaran politik Kesultanan Siak Sri Indrapura, sebuah kerajaan maritim yang tangguh.
‎Namun, pengakuan kekuasaan ini harus direbut melalui darah dan air mata. Penyerangan Siak terhadap Kesultanan Pelalawan adalah salah satu episode paling dramatis. Penyerangan pertama terjadi sekitar tahun 1806, dipimpin oleh Sayyid Usman Syahabuddin. Pasukan Siak, yang berlayar melalui Kuala Kampar, berhadapan dengan benteng pertahanan Pelalawan yang terkuat di Kuala Mempusun, tepat di hilir Pelalawan.
‎Benteng di Mempusun itu dipersiapkan dengan matang, dilengkapi dengan meriam, dan lebih cerdiknya lagi, di atas Sungai Kampar telah dilintangi batang-batang kayu besar yang diikat dengan rantai besi, disusun dari seberang sungai untuk menghalangi perahu dan sampan Siak mudik ke hulu.
‎Serangan pertama ini berhasil dipatahkan oleh pasukan perang Kesultanan Pelalawan. Pasukan Siak dipukul mundur dan bahkan mengalami kerugian signifikan.
‎Salah satu kapal pasukan Kesultanan Siak yang tenggelam adalah kapal "Beram" atau "Baheram", yang ditumpangi oleh Sayyid Usman Syahabuddin sendiri.
‎Tempat tenggelamnya kapal ini bahkan diabadikan oleh penduduk sekitar dengan nama "Teluk Beram". Dengan kekalahan telak ini, untuk sementara penyerangan terhadap Kesultanan Pelalawan pun dihentikan, meskipun tekad Kerajaan Siak untuk menaklukkan Pelalawan tetap membara.
‎Ambisi Sultan Syarif Ali tidak terbatas di Sumatera. Beliau juga memimpin ekspedisi ke timur, melancarkan serangan terhadap Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat. Siak berhasil menaklukkan ibukota Sambas, meskipun tidak diduduki secara permanen.
‎Kemenangan ini meninggalkan jejak budaya dan politik; di Sambas kini masih ditemukan perkampungan bernama Kampung Siak. Sebagai tanda takluk, Sambas diwajibkan membayar upeti tahunan kepada Siak berupa bunga perak. Bukti fisik kekuasaan ini pun dibawa pulang, di Siak masih terdapat barang-barang dari Sambas seperti piring, senjata, dan juga kesamaan antara Tenunan Siak dengan Sambas.
‎Meskipun Siak mencapai puncak kejayaan yang luar biasa dan berhasil menggeser dominasi Aceh di beberapa wilayah kunci Sumatera Timur, nasib akhir kesultanan ini terikat oleh kekuatan yang lebih besar. Seiring dengan peningkatan pengaruh kolonial Belanda (Hindia Belanda) di Selat Malaka pada abad ke-19, posisi Siak semakin dilematis. Kekuatan Siak, yang sebelumnya berhasil mempreteli kekuasaan Aceh dan menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, akhirnya harus tunduk pada Traktat Siak pada 1 Februari 1858.
‎Perjanjian kontroversial tersebut memaksa Sultan Siak mengakui kedaulatan Hindia Belanda atas wilayahnya, termasuk wilayah taklukannya di Sumatera Timur. Praktis, Asahan, Deli, dan Langkat yang selama ini berada di bawah hegemoni Siak, kini diserahkan kepada kontrol Belanda.
‎Traktat ini mengakhiri masa keemasan politik Siak dan menandai bergesernya kendali atas jalur perdagangan penting di Sumatera Timur dari tangan penguasa Melayu ke tangan kolonial. Ini merupakan akhir yang ironis bagi sebuah kerajaan yang lahir dari perjuangan melawan dominasi kekuasaan lama, namun harus menyerah pada kekuatan kolonialisme modern.
‎Paska Kemerdekaan Indonesia
‎Sultan Syarif Kasim II dari Siak Sri Indrapura dikenal sebagai salah satu tokoh bangsawan Melayu yang memiliki peranan penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Pada masa-masa awal setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, beliau menjadi simbol kebesaran hati kaum bangsawan Nusantara yang rela melepas kekuasaan demi persatuan bangsa. Di saat banyak kerajaan masih bimbang menentukan sikap terhadap republik yang baru lahir, Sultan Syarif Kasim II justru menjadi yang pertama menyatakan dukungan penuh kepada pemerintahan Soekarno–Hatta.
‎Sebagai bukti kesetiaan dan semangat nasionalismenya, Sultan Syarif Kasim II menyerahkan sumbangan sebesar lebih dari 13 juta Gulden Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia. Jika dikonversi dengan nilai saat ini, jumlah tersebut setara dengan lebih dari Rp1 triliun. Dana besar ini digunakan untuk menopang keuangan negara yang baru berdiri dan membantu pembentukan lembaga pemerintahan serta militer di masa awal kemerdekaan. Sumbangan itu tidak hanya berupa uang tunai, tetapi juga emas, perhiasan kerajaan, dan sumber daya berharga lain yang dimiliki Kesultanan Siak.
‎Lebih dari sekadar memberikan harta, Sultan Syarif Kasim II melakukan langkah monumental: membubarkan Kesultanan Siak Sri Indrapura. Keputusan ini menandai penyerahan penuh kedaulatan kerajaan kepada Republik Indonesia, menjadikan wilayah Siak secara resmi menjadi bagian dari NKRI tanpa melalui perang atau tekanan politik. Tindakan ini menunjukkan pandangan jauh ke depan seorang pemimpin yang memahami pentingnya persatuan bangsa di atas kepentingan dinasti.
‎Sumbangan dan sikap patriotik Sultan Syarif Kasim II menjadi inspirasi bagi banyak kerajaan di Nusantara untuk mengikuti langkah serupa. Dukungan dari istana Siak memperkuat legitimasi pemerintahan republik muda yang masih berjuang menghadapi ancaman kolonial Belanda dan sekutu-sekutunya. Tindakan beliau turut memperkokoh semangat persatuan di kalangan masyarakat Melayu dan Riau, menjadikan daerah tersebut salah satu benteng kuat perjuangan diplomasi Indonesia di Sumatera.
‎Atas jasa dan pengorbanan luar biasa itu, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Syarif Kasim II pada 6 November 1998. Namanya kini diabadikan di berbagai tempat, termasuk Bandara Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru. Warisan perjuangannya bukan hanya berupa harta yang diserahkan, tetapi juga teladan keikhlasan dan pengabdian seorang raja yang memilih menjadi bagian dari rakyat demi tegaknya kemerdekaan Indonesia.
‎Baca juga:
‎https://www.facebook.com/share/p/17CKYbDD6N/

Geng Bayangan di Gaza: Siapa di Balik Ramlis, Husseal, dan Ashramani?

Oktober 17, 2025 Add Comment
Di tengah reruntuhan Gaza yang belum pulih dari gempuran, muncul kisah baru yang tak kalah gelap dari ledakan bom dan deru tank. Bukan tentang serangan udara atau perlawanan, melainkan tentang kemunculan geng-geng bersenjata yang dituduh dibentuk secara sistematis oleh intelijen Israel untuk mengacaukan tatanan masyarakat Gaza pasca-perang.

Video investigatif dari kanal Middle East Eye menyingkap tuduhan bahwa sejak invasi Rafah pada Mei 2024, Israel melalui Shin Bet dan IDF telah merekrut para kriminal, menawarkan mereka kekuasaan dan kemewahan, untuk membentuk jaringan geng yang akan menguasai Gaza setelah perang usai. Geng pertama yang muncul dikenal sebagai Abu Shabab, diikuti oleh tiga kelompok lain: Ramlis, Husseal, dan Ashramani.

Meski nama-nama itu terdengar seperti julukan biasa, bagi warga Gaza, setiap nama membawa sejarah sosial yang dalam. Di Gaza, identitas keluarga dan asal-usul klan sering menentukan status sosial dan loyalitas politik seseorang. Karena itu, kemunculan geng-geng ini bukan hanya fenomena kriminal, tapi juga cermin dari fragmentasi sosial yang terus dirawat oleh perang.

Geng Abu Shabab dikenal sebagai yang pertama dan terbesar. Kelompok ini muncul di wilayah Rafah, kota paling selatan Gaza, yang menjadi titik pertama invasi darat Israel. Menurut laporan Middle East Eye, para anggotanya direkrut dari klan Abu Shahab—kelompok yang memiliki reputasi lama dalam jaringan perdagangan lintas perbatasan Rafah-Sinai.

Namun fokus kini bergeser kepada tiga geng lain: Ramlis, Husseal, dan Ashramani. Mereka muncul sekitar pertengahan 2024, saat pertempuran darat mulai berkurang dan wilayah Gaza terbagi menjadi zona-zona tak tentu. Ketiganya disebut “tidak terbentuk secara organik,” melainkan hasil dari strategi terencana untuk menanamkan benih kekacauan di wilayah yang sulit dijangkau oleh militer Israel.

Nama “Ramlis” diduga diambil dari kata Ramla, sebuah kota di Palestina tengah yang kini menjadi bagian dari Israel. Ribuan warga Ramla mengungsi ke Gaza setelah Nakba 1948, dan banyak dari mereka masih menggunakan nama itu untuk menandai identitas leluhur mereka. Karena itu, geng Ramlis diyakini berasal dari keturunan pengungsi Ramla yang kini tinggal di kamp pengungsi Bureij dan Nuseirat.

Dalam konteks sosial Gaza, keturunan pengungsi Ramla sering kali merasa terpinggirkan dibanding keluarga asli Gaza selatan. Mereka tidak memiliki tanah, bekerja di sektor informal, dan sering bergantung pada bantuan UNRWA. Kerapuhan ekonomi inilah yang kemungkinan besar dimanfaatkan oleh pihak luar untuk merekrut anggota geng Ramlis dengan janji uang dan kekuasaan.

Berbeda dengan Ramlis, geng Husseal memiliki akar yang lebih dalam di Gaza. Nama “Husseal” tampaknya merupakan variasi dari al-Husayl atau al-Husseili, yang dikenal di wilayah Khan Younis dan Deir al-Balah. Keluarga ini berakar dari jaringan klan urban dan Badui yang berbaur sejak masa Ottoman.

Anggota Husseal dikenal memiliki jaringan perdagangan dan keamanan lokal. Di masa lalu, beberapa tokoh dari keluarga ini pernah menjadi mediator antara kelompok bersenjata dan masyarakat sipil. Karena posisi sosial mereka yang ambigu—antara masyarakat kota dan suku Badui—mereka mudah dimanfaatkan untuk operasi infiltrasi dan perekrutan bayaran.

Sumber-sumber lokal menyebut, geng Husseal tidak hanya mencari keuntungan materi, tapi juga balas dendam terhadap kelompok tertentu di Gaza yang mereka anggap telah menyingkirkan mereka secara politik. Hubungan yang rumit antara keluarga Husseal dan beberapa cabang Hamas di Khan Younis diduga menjadi salah satu alasan mengapa kelompok ini mudah digiring ke dalam operasi bayangan.

Sementara itu, geng Ashramani muncul dari bagian utara Gaza, di sekitar Jabalia dan Beit Hanoun. Nama “Ashramani” diyakini berasal dari keluarga al-Ashram—salah satu klan kecil yang berakar dari suku Badui di Sinai, namun telah menetap di Gaza sejak generasi keempat.

Keluarga Ashram dikenal memiliki reputasi keras dan kehidupan yang dekat dengan perbatasan. Mereka terbiasa hidup dalam kondisi sulit, bergantung pada penyelundupan bahan bakar dan logistik dari jalur Rafah. Dalam situasi kacau pasca-serangan, anggota-anggota muda klan ini menjadi sasaran empuk bagi operasi rekrutmen.

Menurut video Middle East Eye, ketiga geng—Ramlis, Husseal, dan Ashramani—dibentuk untuk mengisi ruang kekuasaan di wilayah yang telah ditinggalkan IDF. Israel disebut berusaha memanfaatkan mereka untuk menciptakan kekacauan internal, dengan harapan masyarakat Gaza akan saling curiga dan berperang satu sama lain.

Strategi ini bukan hal baru. Pada masa pendudukan awal 1970-an, Israel juga pernah dituduh menanamkan kelompok kriminal di kamp pengungsi untuk melemahkan PLO. Kini pola serupa diduga diulang, dengan versi yang lebih halus namun lebih berbahaya—menggunakan geng lokal yang diberi fasilitas dan status sosial palsu.

Sumber-sumber di Rafah menyebut, beberapa pemimpin geng bahkan diberi akses ke kendaraan dan senjata yang diselundupkan dari perbatasan Mesir. Sebagian lainnya dikabarkan mendapat janji pengampunan dari Shin Bet jika mau bekerja sama mengawasi wilayah tertentu setelah gencatan senjata.

Warga Gaza menyebut fenomena ini sebagai “perang bayangan,” di mana musuh tidak lagi mengenakan seragam. Batas antara kriminal dan kolaborator menjadi kabur. Banyak penduduk khawatir bahwa setelah perang berhenti, konflik antar geng ini akan menimbulkan kekacauan yang lebih dalam daripada serangan udara.

Para ulama dan tokoh masyarakat di Gaza kini menyerukan agar masyarakat tidak terjebak dalam provokasi yang diciptakan melalui geng-geng ini. Mereka menegaskan bahwa setiap tindakan balas dendam atau kekerasan internal hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat Palestina sendiri.

Hingga kini, keberadaan geng-geng tersebut sulit diverifikasi secara independen. Namun banyak laporan lapangan dan testimoni warga menunjukkan bahwa munculnya kelompok bersenjata baru dengan identitas lokal yang mencurigakan memang meningkat sejak pertengahan 2024.

Bagi banyak pengamat, kemunculan Ramlis, Husseal, dan Ashramani hanyalah puncak dari strategi lama: menghancurkan masyarakat Gaza dari dalam. Dengan menciptakan geng yang tampak lokal, Israel dapat menanamkan kekacauan tanpa harus mengerahkan pasukan.

Gaza hari ini bukan hanya medan perang militer, tetapi juga arena perebutan jiwa dan loyalitas. Ketika keluarga dan suku diperalat menjadi geng, dan geng dijadikan alat untuk memecah belah bangsa, maka luka Gaza bukan lagi sekadar kehancuran fisik—melainkan luka identitas yang mungkin akan diwariskan dari generasi ke generasi.