Di tengah reruntuhan Gaza yang belum pulih dari gempuran, muncul kisah baru yang tak kalah gelap dari ledakan bom dan deru tank. Bukan tentang serangan udara atau perlawanan, melainkan tentang kemunculan geng-geng bersenjata yang dituduh dibentuk secara sistematis oleh intelijen Israel untuk mengacaukan tatanan masyarakat Gaza pasca-perang.
Video investigatif dari kanal Middle East Eye menyingkap tuduhan bahwa sejak invasi Rafah pada Mei 2024, Israel melalui Shin Bet dan IDF telah merekrut para kriminal, menawarkan mereka kekuasaan dan kemewahan, untuk membentuk jaringan geng yang akan menguasai Gaza setelah perang usai. Geng pertama yang muncul dikenal sebagai Abu Shabab, diikuti oleh tiga kelompok lain: Ramlis, Husseal, dan Ashramani.
Meski nama-nama itu terdengar seperti julukan biasa, bagi warga Gaza, setiap nama membawa sejarah sosial yang dalam. Di Gaza, identitas keluarga dan asal-usul klan sering menentukan status sosial dan loyalitas politik seseorang. Karena itu, kemunculan geng-geng ini bukan hanya fenomena kriminal, tapi juga cermin dari fragmentasi sosial yang terus dirawat oleh perang.
Geng Abu Shabab dikenal sebagai yang pertama dan terbesar. Kelompok ini muncul di wilayah Rafah, kota paling selatan Gaza, yang menjadi titik pertama invasi darat Israel. Menurut laporan Middle East Eye, para anggotanya direkrut dari klan Abu Shahab—kelompok yang memiliki reputasi lama dalam jaringan perdagangan lintas perbatasan Rafah-Sinai.
Namun fokus kini bergeser kepada tiga geng lain: Ramlis, Husseal, dan Ashramani. Mereka muncul sekitar pertengahan 2024, saat pertempuran darat mulai berkurang dan wilayah Gaza terbagi menjadi zona-zona tak tentu. Ketiganya disebut “tidak terbentuk secara organik,” melainkan hasil dari strategi terencana untuk menanamkan benih kekacauan di wilayah yang sulit dijangkau oleh militer Israel.
Nama “Ramlis” diduga diambil dari kata Ramla, sebuah kota di Palestina tengah yang kini menjadi bagian dari Israel. Ribuan warga Ramla mengungsi ke Gaza setelah Nakba 1948, dan banyak dari mereka masih menggunakan nama itu untuk menandai identitas leluhur mereka. Karena itu, geng Ramlis diyakini berasal dari keturunan pengungsi Ramla yang kini tinggal di kamp pengungsi Bureij dan Nuseirat.
Dalam konteks sosial Gaza, keturunan pengungsi Ramla sering kali merasa terpinggirkan dibanding keluarga asli Gaza selatan. Mereka tidak memiliki tanah, bekerja di sektor informal, dan sering bergantung pada bantuan UNRWA. Kerapuhan ekonomi inilah yang kemungkinan besar dimanfaatkan oleh pihak luar untuk merekrut anggota geng Ramlis dengan janji uang dan kekuasaan.
Berbeda dengan Ramlis, geng Husseal memiliki akar yang lebih dalam di Gaza. Nama “Husseal” tampaknya merupakan variasi dari al-Husayl atau al-Husseili, yang dikenal di wilayah Khan Younis dan Deir al-Balah. Keluarga ini berakar dari jaringan klan urban dan Badui yang berbaur sejak masa Ottoman.
Anggota Husseal dikenal memiliki jaringan perdagangan dan keamanan lokal. Di masa lalu, beberapa tokoh dari keluarga ini pernah menjadi mediator antara kelompok bersenjata dan masyarakat sipil. Karena posisi sosial mereka yang ambigu—antara masyarakat kota dan suku Badui—mereka mudah dimanfaatkan untuk operasi infiltrasi dan perekrutan bayaran.
Sumber-sumber lokal menyebut, geng Husseal tidak hanya mencari keuntungan materi, tapi juga balas dendam terhadap kelompok tertentu di Gaza yang mereka anggap telah menyingkirkan mereka secara politik. Hubungan yang rumit antara keluarga Husseal dan beberapa cabang Hamas di Khan Younis diduga menjadi salah satu alasan mengapa kelompok ini mudah digiring ke dalam operasi bayangan.
Sementara itu, geng Ashramani muncul dari bagian utara Gaza, di sekitar Jabalia dan Beit Hanoun. Nama “Ashramani” diyakini berasal dari keluarga al-Ashram—salah satu klan kecil yang berakar dari suku Badui di Sinai, namun telah menetap di Gaza sejak generasi keempat.
Keluarga Ashram dikenal memiliki reputasi keras dan kehidupan yang dekat dengan perbatasan. Mereka terbiasa hidup dalam kondisi sulit, bergantung pada penyelundupan bahan bakar dan logistik dari jalur Rafah. Dalam situasi kacau pasca-serangan, anggota-anggota muda klan ini menjadi sasaran empuk bagi operasi rekrutmen.
Menurut video Middle East Eye, ketiga geng—Ramlis, Husseal, dan Ashramani—dibentuk untuk mengisi ruang kekuasaan di wilayah yang telah ditinggalkan IDF. Israel disebut berusaha memanfaatkan mereka untuk menciptakan kekacauan internal, dengan harapan masyarakat Gaza akan saling curiga dan berperang satu sama lain.
Strategi ini bukan hal baru. Pada masa pendudukan awal 1970-an, Israel juga pernah dituduh menanamkan kelompok kriminal di kamp pengungsi untuk melemahkan PLO. Kini pola serupa diduga diulang, dengan versi yang lebih halus namun lebih berbahaya—menggunakan geng lokal yang diberi fasilitas dan status sosial palsu.
Sumber-sumber di Rafah menyebut, beberapa pemimpin geng bahkan diberi akses ke kendaraan dan senjata yang diselundupkan dari perbatasan Mesir. Sebagian lainnya dikabarkan mendapat janji pengampunan dari Shin Bet jika mau bekerja sama mengawasi wilayah tertentu setelah gencatan senjata.
Warga Gaza menyebut fenomena ini sebagai “perang bayangan,” di mana musuh tidak lagi mengenakan seragam. Batas antara kriminal dan kolaborator menjadi kabur. Banyak penduduk khawatir bahwa setelah perang berhenti, konflik antar geng ini akan menimbulkan kekacauan yang lebih dalam daripada serangan udara.
Para ulama dan tokoh masyarakat di Gaza kini menyerukan agar masyarakat tidak terjebak dalam provokasi yang diciptakan melalui geng-geng ini. Mereka menegaskan bahwa setiap tindakan balas dendam atau kekerasan internal hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat Palestina sendiri.
Hingga kini, keberadaan geng-geng tersebut sulit diverifikasi secara independen. Namun banyak laporan lapangan dan testimoni warga menunjukkan bahwa munculnya kelompok bersenjata baru dengan identitas lokal yang mencurigakan memang meningkat sejak pertengahan 2024.
Bagi banyak pengamat, kemunculan Ramlis, Husseal, dan Ashramani hanyalah puncak dari strategi lama: menghancurkan masyarakat Gaza dari dalam. Dengan menciptakan geng yang tampak lokal, Israel dapat menanamkan kekacauan tanpa harus mengerahkan pasukan.
Gaza hari ini bukan hanya medan perang militer, tetapi juga arena perebutan jiwa dan loyalitas. Ketika keluarga dan suku diperalat menjadi geng, dan geng dijadikan alat untuk memecah belah bangsa, maka luka Gaza bukan lagi sekadar kehancuran fisik—melainkan luka identitas yang mungkin akan diwariskan dari generasi ke generasi.
EmoticonEmoticon