‎Dja Endar Moeda Naik Haji Sebelum Sisingamangaraja XII Gugur‎

September 29, 2025 Add Comment
‎Nama Dja Endar Moeda Harahap tercatat sebagai salah satu tokoh perintis pers berbahasa Melayu dari Tapanuli Selatan. Ia lahir di Padang Sidempuan pada tahun 1861 dan menempuh pendidikan di Kweekschool Padang Sidempuan, sebuah sekolah yang didirikan tokoh pendidikan terkenal Willem Iskander, seorang bermarga Nasution yang belakangan murtad dari Islam.
‎Sejak muda, Dja Endar Moeda dikenal cerdas dan piawai dalam bahasa Belanda. Ia pernah menjadi murid Charles Adrian van Ophuijsen, sosok yang kelak menyusun ejaan resmi bahasa Melayu. Latar pendidikan inilah yang mengantarkan Moeda pada karier penting di dunia jurnalistik dan pendidikan.
‎Setelah lulus tahun 1884, ia mengabdi sebagai guru pembantu di Air Bangis. Dua tahun kemudian, ia dipercaya menjadi kepala sekolah di Batahan, Mandailing Natal, sebuah jabatan bergengsi untuk ukuran seorang pribumi pada masa itu.
‎Tidak hanya mengajar, Moeda juga menekuni dunia kepenulisan. Pada 1887, ia tampil sebagai redaktur jurnal pendidikan Soeloeh Pengadjar yang terbit di Probolinggo. Dari sinilah bakat jurnalistiknya semakin terasah.
‎Perjalanan hidupnya berlanjut ketika ia dipindahkan ke Singkil, Aceh Singkil. Dari titik inilah Moeda membuat keputusan besar: berangkat menunaikan ibadah haji ke Makkah pada tahun 1892, saat itu Kesultanan Aceh masih secara de jure berdiri, bahkan Ottoman Turki masih ada.
‎Keberangkatan Moeda ke Tanah Suci menempatkannya sebagai salah satu putra Mandailing yang lebih dahulu menunaikan haji pada masa kolonial, jauh sebelum akses perjalanan menjadi lebih mudah di abad ke-20.
‎Keputusan naik haji itu terjadi 15 tahun sebelum Sisingamangaraja XII gugur ditembak Belanda pada 1907 di Parlilitan, kini Humbang Hasundutan yang secara geografis dekat Singkil. Fakta ini menunjukkan bahwa kaum intelektual Tapanuli Selatan tetap menjalankan syariat Islam ke Mekkah meski penjajahan Belanda sudah mulai perlahan menguasai seluruh wilayah Aceh dan Sumatera Utara sekarang.
‎Di Makkah, Moeda tidak hanya menunaikan ibadah, tetapi juga berziarah ke makam ayahnya yang wafat di tanah suci. Pengalaman spiritual ini memberikan kesan mendalam bagi dirinya.
‎Setelah kembali dari haji, Moeda menuliskan catatan perjalanan yang sangat berharga. Karyanya berjudul Perdjalanan ke Tanah Tjoetji dimuat secara berseri di majalah Bintang Hindia.
‎Dalam catatan itu, ia tidak hanya menceritakan pengalaman rohaninya, tetapi juga menjabarkan rincian praktis, mulai dari biaya hingga mata uang yang sebaiknya dibawa.
‎Moeda menulis bahwa ongkos naik haji tahun 1892 berkisar 750 hingga 1.000 gulden, lebih mahal dibandingkan tahun 1887 yang hanya sekitar 500 gulden. Kenaikan itu disebabkan kondisi transportasi dan kebijakan perdagangan mata uang.
‎Ia bahkan memberikan tips keuangan bagi calon jamaah haji. Menurutnya, lebih baik menukar gulden dengan poundsterling, sebab nilai tukarnya di Makkah lebih menguntungkan dibandingkan gulden Hindia Belanda.
‎Moeda mencatat, 12,5 gulden bisa ditukar dengan satu poundsterling yang setara 10 ringgit burung di Makkah. Sementara itu, 10 gulden hanya dapat ditukar dengan delapan ringgit burung. Catatan ini menunjukkan wawasan ekonomi yang tajam.
‎Tulisan Moeda tentang haji berisi 44 pasal, yang menyajikan panduan lengkap bagi jamaah. Bagi masyarakat pribumi kala itu, catatan tersebut menjadi rujukan penting untuk memahami perjalanan ke tanah suci.
‎Catatan ini juga memperlihatkan bahwa ibadah haji sejak akhir abad ke-19 tidak hanya bernilai spiritual, tetapi juga erat kaitannya dengan pengetahuan praktis, termasuk soal mata uang, ongkos, dan logistik perjalanan.
‎Posisi Moeda sebagai haji sekaligus intelektual mempertegas peran penting ulama-jurnalis dari Tapanuli dalam menghubungkan dunia Melayu-Nusantara dengan pusat Islam global.
‎Fakta bahwa ia sudah berhaji sebelum Sisingamangaraja XII gugur ditembak Belanda juga menjadi catatan sejarah menarik. Keduanya mewakili dua jalur perlawanan berbeda terhadap kolonialisme: satu melalui pena dan pendidikan, satu lagi melalui senjata dan karisma keagamaan.
‎Moeda membuktikan bahwa kebangkitan intelektual pribumi di Tapanuli Selatan tidak kalah bersejarah dibanding perlawanan fisik. Ia membuka ruang bagi lahirnya kesadaran baru lewat media cetak berbahasa Melayu.
‎Kisah perjalanan hajinya yang terekam dengan detail menjadikan Dja Endar Moeda bukan sekadar pelopor pers, melainkan juga pionir yang memperlihatkan bagaimana orang Tapanuli tetap terhubung dengan dunia internasional sampai abad ke-19, hubungan yang telah terbina sejak era Sayabiga (Zabag/Sriwijaya) dan perdagangan internasion di Barus Titik Nol Islam di Nusantara.
‎Warisan Moeda kini dipandang sebagai salah satu fondasi sejarah modern di Sumatera Utara. Ia menjadi bukti bahwa pendidikan, pena, dan spiritualitas bisa berjalan seiring dalam membangun kesadaran bangsa.
‎#harahap #singkil #djaendarmoeda #tokohpers

Kamp Pengungsi Suriah yang Kian Sepi

September 11, 2025 Add Comment

Kondisi kamp-kamp pengungsian di Suriah semakin memperlihatkan wajah sepi dan ditinggalkan. Banyak lokasi yang dulunya penuh sesak dengan ribuan keluarga kini hanya menyisakan segelintir orang yang bertahan. Di beberapa kamp, hanya tiga atau empat keluarga yang masih menempati tenda yang tersisa, sementara sisanya telah angkat kaki meninggalkan tempat yang tak lagi layak huni.

Kondisi ini terutama terlihat di kawasan Atmeh, dekat perbatasan Suriah dengan Turki. Video terbaru yang beredar menampilkan situasi memilukan di mana sebuah kamp yang dulunya ramai kini dipenuhi puing-puing. Atap dari terpal sudah banyak yang sobek dan roboh, sementara isi rumah seadanya sudah dibawa para pengungsi yang memilih pindah.

Di beberapa sudut kamp, bahkan dinding-dinding yang dulu menjadi penahan kini telah diruntuhkan. Sisa-sisa papan, kain, dan plastik yang menjadi pelindung dari panas dan hujan hanya berserakan tanpa fungsi. Pemandangan ini menjadi bukti nyata bahwa kamp tersebut tidak lagi dikelola dengan baik.

Seorang perempuan dalam video itu mengisahkan betapa berat hidup yang mereka jalani. Ia menyebut bahwa dirinya bersama suami masih bertahan di kamp karena tidak punya tempat lain untuk dituju. Penghasilan suaminya yang sangat kecil membuat mereka tidak mampu menyewa rumah atau kembali ke desa yang sudah hancur.

Wanita itu juga menambahkan, hanya ada tiga hingga empat keluarga yang tersisa di sekitar kampnya. Mereka hidup di tengah puing-puing dan rumah tenda yang kosong, dengan fasilitas minim dan tanpa adanya dukungan organisasi kemanusiaan yang konsisten.

Ketiadaan pengurus kamp membuat keadaan semakin sulit. Tidak ada distribusi logistik yang teratur, bahkan akses ke air bersih dan listrik menjadi persoalan utama. Anak-anak yang tersisa pun tidak lagi memiliki ruang bermain aman sebagaimana dulu ketika kamp masih ramai.

Bandingkan dengan kondisi di Yordania, di mana kamp pengungsian dikelola dengan lebih ketat. Jika jumlah pengungsi sudah tinggal di bawah sepuluh keluarga, pemerintah atau badan pengelola segera menutup kamp tersebut. Para penghuni yang tersisa dipindahkan ke kamp lain agar manajemen hidup dan distribusi logistik lebih efisien.

Namun, di Suriah, praktik semacam ini nyaris tidak berjalan. Banyak kamp yang tetap dibiarkan walau hanya menyisakan beberapa keluarga. Akibatnya, para penghuni yang masih bertahan hidup dalam kondisi terisolasi tanpa bantuan layak.

Para pengungsi berharap agar pemerintah atau lembaga internasional lebih serius memperbaiki fasilitas dasar di kampung halaman mereka. Air bersih dan listrik dianggap sebagai kebutuhan utama agar mereka bisa kembali pulang. Dengan adanya infrastruktur itu, kehidupan di desa bisa mulai dibangun kembali.

Sebagian pengungsi juga mengusulkan adanya hunian sementara atau huntara. Mereka menyebut bentuk hunian itu bisa berupa karavan atau bangunan sederhana yang bisa menampung keluarga selama rumah mereka diperbaiki. Harapan ini mencerminkan kerinduan untuk hidup normal di kampung halaman sendiri.

Di banyak wilayah lain di Suriah, cerita yang sama juga terdengar. Kamp-kamp pengungsi yang dulunya menjadi tumpuan kini tinggal kenangan. Kehidupan berangsur kembali ke desa, tetapi dengan tantangan besar berupa kerusakan parah dan ketiadaan sarana dasar.

Kamp Atmeh menjadi simbol dari kondisi ini. Dahulu, kawasan ini menampung puluhan ribu pengungsi yang melarikan diri dari konflik. Kini, hanya segelintir yang bertahan dengan segala keterbatasan. Suasana sunyi yang mengelilingi kamp kerap digambarkan para saksi sebagai "kota hantu" bagi pengungsi.

Meski demikian, sebagian keluarga tetap bertahan karena tidak memiliki pilihan. Mereka khawatir kembali ke desa yang rusak hanya akan memperburuk keadaan, apalagi tanpa adanya dukungan komunitas. Banyak desa kini hanya berupa reruntuhan, sehingga kebutuhan dasar mustahil terpenuhi tanpa bantuan luar.

Organisasi kemanusiaan internasional menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka ingin mendorong pengungsi kembali ke desa. Namun di sisi lain, infrastruktur dasar yang belum pulih membuat kepulangan besar-besaran justru bisa menimbulkan gelombang kemiskinan baru.

Situasi ini juga mengungkap betapa rumitnya pengelolaan pengungsi di Suriah pascaperang. Kamp yang kosong atau ditinggalkan bukan sekadar tanda berakhirnya pengungsian, tetapi juga bukti kegagalan manajemen dalam memberikan solusi jangka panjang.

Sejumlah analis menilai bahwa solusi terbaik adalah mempercepat rekonstruksi desa-desa yang hancur. Dengan begitu, para pengungsi yang masih bertahan di kamp bisa kembali secara bertahap. Kehadiran huntara bisa menjadi jalan tengah sambil menunggu rumah permanen rampung diperbaiki.

Selain itu, ada kebutuhan besar untuk membentuk badan khusus yang mengelola transisi dari kamp ke desa. Tanpa pengelolaan yang jelas, nasib keluarga yang masih bertahan di kamp-kamp kecil akan terus terabaikan.

Para pengungsi sendiri menyuarakan keinginan sederhana: hidup layak di tanah mereka sendiri. Bagi mereka, kamp hanyalah tempat persinggahan sementara, bukan rumah permanen. Keinginan ini kini semakin menguat seiring kondisi kamp yang makin sulit ditinggali.

Cerita dari Atmeh hanyalah satu potret kecil dari ribuan pengungsi Suriah yang masih berjuang di dalam negeri. Meski banyak sudah kembali ke desa, mereka yang tertinggal menanggung beban lebih berat di tengah sunyi kamp yang ditinggalkan.

Kondisi ini menegaskan bahwa krisis Suriah belum sepenuhnya berakhir. Meski senjata sudah jarang terdengar, perjuangan para pengungsi untuk mendapatkan kembali kehidupan normal masih panjang. Mereka menunggu janji rekonstruksi agar mimpi pulang bisa segera terwujud.