Status Kashmir, Hyderabad, Golan, dan Krimea di PBB

Juli 04, 2025 Add Comment

Sejak kemerdekaan India dan Pakistan dari Inggris pada 1947, berbagai wilayah bekas kerajaan di anak benua itu menghadapi dilema untuk menentukan nasibnya. Di antara sekian banyak wilayah, sengketa Kashmir dan aneksasi Hyderabad menjadi dua kasus paling sensitif yang memicu reaksi keras di kawasan dan menarik perhatian dunia internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga kini masih memandang Kashmir sebagai wilayah sengketa, sementara kasus Hyderabad nyaris terlupakan dari ingatan dunia.

Ketegangan di Kashmir bermula ketika Maharaja Hari Singh, penguasa negara kerajaan Jammu dan Kashmir, memutuskan bergabung dengan India di tengah invasi kelompok bersenjata dari Pakistan. India kemudian mengirim pasukan ke wilayah itu setelah Maharaja menandatangani akta bergabung ke India pada Oktober 1947. Keputusan ini menimbulkan perlawanan dari Pakistan yang menganggap Kashmir sebagai wilayah dengan mayoritas Muslim yang seharusnya bergabung dengan negaranya.

PBB segera turun tangan dengan mengeluarkan Resolusi 47 pada April 1948 yang menyerukan referendum di Kashmir untuk menentukan apakah wilayah itu ingin bergabung dengan India atau Pakistan. Namun hingga kini referendum tersebut tak pernah dilakukan. PBB juga membentuk United Nations Military Observer Group in India and Pakistan (UNMOGIP) untuk memantau gencatan senjata di sepanjang Line of Control (LoC) yang membelah Kashmir.

Berbeda dengan Kashmir, Hyderabad adalah negara kerajaan terbesar di anak benua India pada 1947, diperintah oleh Nizam Mir Osman Ali Khan. Meski mayoritas penduduknya Muslim, Hyderabad saat itu berpenduduk mayoritas Hindu. Nizam memilih untuk tidak bergabung dengan India maupun Pakistan dan ingin tetap merdeka, sebuah keputusan yang ditolak oleh pemerintah India karena dinilai membahayakan integritas nasional.

Ketegangan pun memuncak ketika India melancarkan operasi militer bernama Operation Polo pada September 1948. Dalam waktu lima hari, pasukan India berhasil menguasai Hyderabad dan memaksa Nizam menyerahkan kekuasaan. India menyebut aksi tersebut sebagai urusan domestik, sementara Pakistan mengecam keras dan melaporkan tindakan India ke Dewan Keamanan PBB.

Meski Pakistan telah mengadukan kasus ini ke PBB, tidak ada resolusi tegas yang dihasilkan terkait Hyderabad. PBB lebih memprioritaskan konflik Kashmir yang dinilai lebih berpotensi memicu perang terbuka. Akhirnya, aneksasi Hyderabad oleh India diterima secara de facto oleh komunitas internasional tanpa pengakuan resmi dari PBB, dan kasusnya menghilang dari agenda dunia.

Perbedaan mencolok pun tampak jika dibandingkan dengan kasus Dataran Tinggi Golan. Wilayah Suriah itu direbut Israel dalam Perang Enam Hari 1967 dan dianeksasi sepihak pada 1981. Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 497 menyatakan bahwa aneksasi itu tidak sah dan melanggar hukum internasional. Hingga kini, mayoritas anggota PBB tetap menganggap Golan sebagai wilayah pendudukan Israel.

Kasus Krimea pun memperlihatkan dinamika serupa ketika Rusia mencaplok semenanjung itu dari Ukraina pada 2014. Rusia kemudian menggelar referendum yang hasilnya diklaim menunjukkan mayoritas warga memilih bergabung dengan Rusia. PBB dan Barat menolak hasil referendum itu karena dianggap dilakukan di bawah tekanan militer dan melanggar kedaulatan Ukraina.

Dewan Umum PBB segera mengeluarkan Resolusi 68/262 yang menegaskan bahwa kedaulatan dan keutuhan wilayah Ukraina harus dihormati. Resolusi ini didukung oleh lebih dari 100 negara anggota PBB, sementara sebagian kecil menolak dan puluhan lainnya abstain. Meski begitu, Rusia tetap mempertahankan Krimea secara de facto.

Dari ketiga kasus ini, ada persamaan dalam hal penggunaan kekuatan militer untuk menguasai wilayah sengketa. Baik India di Hyderabad dan Kashmir, Israel di Golan, maupun Rusia di Krimea, semuanya menggunakan dalih keamanan dan kestabilan nasional untuk melegitimasi aksinya. Namun, tanggapan PBB atas ketiganya tidak seragam.

PBB secara aktif mengecam aneksasi Golan dan Krimea melalui resolusi tegas, sementara terhadap Hyderabad, PBB nyaris tidak mengeluarkan pernyataan atau keputusan resmi. Hal ini memperlihatkan bagaimana faktor geopolitik dan kepentingan negara besar di Dewan Keamanan PBB mempengaruhi respons lembaga dunia itu.

Perbedaan lain terlihat dalam penyikapan referendum. India menolak gagasan referendum di Kashmir, sementara Rusia justru menggelar referendum di Krimea meskipun ditolak dunia internasional. Di Golan, Israel tak pernah menggelar referendum, melainkan langsung mengumumkan aneksasi sepihak.

Kasus Hyderabad menjadi anomali karena meski ada pengaduan dari Pakistan, PBB memilih diam tanpa tindakan konkret. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa pada saat itu, situasi di Kashmir dianggap lebih mendesak dan potensi perangnya lebih besar. Selain itu, India menolak tegas segala bentuk campur tangan PBB dalam urusan domestik.

Dalam konteks Kashmir, PBB masih menyatakan wilayah itu sebagai sengketa internasional yang belum terselesaikan. Hingga kini, resolusi tentang referendum masih berlaku di atas kertas, sementara gencatan senjata dipantau oleh UNMOGIP. Meski begitu, referendum yang diamanatkan PBB tak pernah terwujud sejak 1948.

Dataran Tinggi Golan dan Krimea kini mengalami penguasaan de facto oleh Israel dan Rusia, serupa dengan situasi Kashmir yang tetap dikendalikan India. Di ketiga wilayah itu, kekuatan militer dijadikan alat utama untuk mempertahankan status quo, sementara PBB hanya mampu mengeluarkan resolusi tanpa kekuatan eksekusi nyata.

Konflik di Kashmir, Hyderabad, Golan, dan Krimea menunjukkan bahwa hukum internasional kerap tak mampu berjalan beriringan dengan realitas geopolitik. Kepentingan negara-negara besar di Dewan Keamanan PBB menjadi faktor penentu dalam penanganan sengketa wilayah, tak selalu sejalan dengan prinsip keadilan atau kedaulatan rakyat.

Di mata PBB, hingga kini Kashmir tetap diakui sebagai wilayah sengketa yang belum final. Krimea masih dianggap bagian dari Ukraina, dan Dataran Tinggi Golan milik Suriah. Anehnya, kasus Hyderabad nyaris tak pernah lagi disebut dalam perdebatan internasional, meski sempat memicu ketegangan pada masanya.

Kisah ini menjadi pengingat bahwa dunia internasional seringkali selektif dalam menyikapi konflik wilayah. Faktor kekuatan militer, posisi strategis, dan hubungan dengan negara-negara besar di Dewan Keamanan PBB lebih menentukan daripada prinsip hukum semata. Dan selama kondisi itu berlangsung, nasib rakyat di wilayah-wilayah sengketa akan terus berada dalam ketidakpastian panjang.

Selain Kashmir, Hyderabad, Golan, dan Krimea, ada pula sejumlah wilayah lain di dunia yang statusnya masih diperdebatkan di panggung internasional. Beberapa di antaranya adalah Abkhazia dan Ossetia Selatan di Georgia, Kosovo di Balkan, serta Transnistria di Moldova. Wilayah-wilayah ini menunjukkan bagaimana persoalan kedaulatan dan aneksasi kerap menjadi arena tarik-menarik antara kekuatan regional dan negara-negara besar, dengan PBB berada di tengah dilema hukum dan politik global.

Abkhazia dan Ossetia Selatan adalah dua wilayah separatis di negara Georgia yang mendeklarasikan kemerdekaan setelah bubarnya Uni Soviet pada 1991. Ketegangan di kedua wilayah ini terus meningkat, terutama setelah Perang Georgia-Rusia pada Agustus 2008, yang berakhir dengan pasukan Rusia menguasai kedua wilayah tersebut. Sejak saat itu, Rusia secara resmi mengakui kemerdekaan Abkhazia dan Ossetia Selatan, diikuti oleh segelintir negara lain.

Namun, mayoritas anggota PBB hingga kini tetap menganggap Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai bagian sah dari wilayah Georgia. Dewan Umum PBB telah beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang menegaskan dukungan atas keutuhan wilayah Georgia, sementara Rusia tetap mempertahankan pasukannya di kedua wilayah tersebut. Situasi ini menjadikan kedua kawasan itu sebagai wilayah de facto yang merdeka dengan dukungan militer Rusia, namun tanpa legitimasi luas dari komunitas internasional.

Di kawasan Balkan, status Kosovo juga menjadi salah satu isu pelik dalam hukum internasional. Setelah konflik panjang dengan Serbia dan intervensi militer NATO pada 1999, Kosovo akhirnya mendeklarasikan kemerdekaan secara sepihak pada 17 Februari 2008. Sejumlah negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman segera mengakui Kosovo sebagai negara merdeka, namun Serbia dan sekutu-sekutunya, termasuk Rusia dan Tiongkok, menolak pengakuan tersebut.

PBB sendiri hingga kini bersikap hati-hati terhadap status Kosovo. Meskipun lebih dari 100 negara anggota PBB telah mengakui kemerdekaan Kosovo, PBB belum pernah secara resmi menerima Kosovo sebagai anggota karena veto Rusia dan Tiongkok di Dewan Keamanan. Kosovo tetap berada dalam status ambigu di mata hukum internasional, dengan banyak negara mengakui, namun sebagian lainnya tetap memandangnya sebagai provinsi milik Serbia.

Selain itu, ada juga Transnistria, wilayah kecil yang memisahkan diri dari Moldova pada awal 1990-an setelah Uni Soviet runtuh. Seperti halnya Abkhazia dan Ossetia Selatan, Transnistria mempertahankan pemerintahan sendiri, mata uang, serta militer sendiri, meski tak diakui oleh negara anggota PBB mana pun, termasuk Rusia yang menjadi pelindung utama wilayah tersebut. PBB dan Uni Eropa tetap menganggap Transnistria sebagai bagian dari Moldova.

Meski begitu, hingga kini Transnistria menjalankan pemerintahan de facto dan memiliki hubungan khusus dengan Moskow. Wilayah ini juga menjadi basis kekuatan militer Rusia di perbatasan Eropa Timur, dan kerap disebut sebagai ‘negara hantu’ karena keberadaannya diakui hanya oleh sesama wilayah separatis dan tidak di panggung internasional resmi.

Persamaan antara kasus Abkhazia, Ossetia Selatan, Kosovo, dan Transnistria dengan Kashmir, Golan, Krimea, dan Hyderabad terletak pada keberadaan kekuatan militer asing atau dukungan negara besar yang mempertahankan status quo. Semua wilayah ini menunjukkan bagaimana campur tangan militer atau dukungan geopolitik bisa menentukan eksistensi sebuah negara atau wilayah tanpa harus mendapat pengakuan internasional penuh.

Di sisi lain, perbedaan mencolok tampak dalam respons PBB. Jika di Kashmir dan Krimea PBB mengeluarkan resolusi khusus, di Abkhazia, Ossetia Selatan, dan Transnistria, PBB lebih banyak mengandalkan pernyataan politik dan dukungan terhadap keutuhan wilayah negara induk tanpa operasi pengawasan militer langsung seperti UNMOGIP di Kashmir. Sedangkan Kosovo, meski mendapat dukungan luas, tetap terganjal keanggotaannya di PBB karena veto Dewan Keamanan.

Wilayah-wilayah tersebut menjadi cerminan bagaimana hukum internasional masih bersifat selektif, tergantung pada kekuatan politik negara-negara besar yang memiliki hak veto di PBB. Situasi ini juga menegaskan bahwa penyelesaian konflik wilayah seringkali lebih ditentukan oleh kekuatan militer dan pengaruh politik global, ketimbang prinsip-prinsip hukum dan keadilan bagi masyarakat lokal yang terdampak langsung.

Raja Farouk dan Kekalahan Italia di Mesir

Juli 02, 2025 Add Comment

Raja Farouk I adalah penguasa Mesir saat Perang Dunia II, yang memerintah sejak 1936 hingga 1952. Farouk bukan keturunan Dinasti Mamluk Mesir, melainkan keturunan langsung dari keluarga Muhammad Ali Pasha, seorang jenderal asal Albania di Kesultanan Utsmaniyah yang merebut kekuasaan di Mesir pada awal abad ke-19. Muhammad Ali Pasha dikenal sebagai pendiri Dinasti Muhammad Ali yang menguasai Mesir selama lebih dari satu abad.

Dinasti ini awalnya adalah bagian dari struktur kekuasaan Utsmaniyah, namun secara de facto menjadi dinasti kerajaan independen. Keluarga Farouk, termasuk ayahnya Raja Fuad I, adalah keturunan langsung Muhammad Ali Pasha. Jadi, meski bergelar raja Mesir, Farouk mewarisi darah bangsawan Balkan, bukan garis keturunan penguasa Mamluk yang sebelumnya berkuasa di Mesir pada abad pertengahan.

Perang Dunia II tidak hanya menjadi ajang pertempuran negara-negara besar di Eropa, tetapi juga merembet hingga Afrika Utara. Salah satu panggung penting perang tersebut terjadi di Mesir, di mana pasukan Italia mencoba menerobos ke Terusan Suez untuk menggoyahkan posisi Inggris di Timur Tengah. Namun, upaya tersebut berakhir dengan kekalahan telak dan menjadi salah satu episode paling memalukan bagi Italia dalam sejarah perangnya.

Pada saat itu, Mesir dipimpin oleh Raja Farouk I, seorang penguasa muda yang naik tahta pada 1936 menggantikan ayahnya, Raja Fuad I. Farouk mewarisi sebuah kerajaan yang secara formal merdeka sejak 1922, namun masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Inggris. Terusan Suez yang menjadi jalur vital Inggris ke India dan koloni-koloni Asia menjadikan Mesir sebagai titik strategis yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh London.

Saat Perang Dunia II meletus, Raja Farouk berusaha mempertahankan posisi netral bagi Mesir. Namun, netralitas itu tak berarti banyak ketika Inggris tetap menempatkan pasukannya di wilayah Mesir untuk melindungi Terusan Suez dari ancaman Poros, khususnya Italia dan Jerman. Meski tak menyukai dominasi Inggris, Farouk terpaksa menerima keberadaan militer asing di negerinya.

Situasi semakin panas ketika Italia di bawah Benito Mussolini menyerang Mesir dari Libya pada tahun 1940. Dengan ambisi merebut Terusan Suez, pasukan Italia di bawah komando Marshal Graziani mencoba menembus perbatasan Mesir. Dalam waktu singkat, mereka berhasil masuk ke wilayah Mesir dan menguasai beberapa titik di daerah gurun barat.

Namun, tentara Inggris yang dipimpin oleh Komandan Archibald Wavell langsung melakukan perlawanan. Pasukan Inggris bersama tentara persemakmuran dari India, Australia, dan Selandia Baru melakukan serangan balasan dalam operasi yang dikenal sebagai Operasi Compass. Hasilnya sangat memalukan bagi Italia, di mana lebih dari 130.000 tentara mereka ditangkap dan peralatan perang dalam jumlah besar direbut.

Raja Farouk, meski secara resmi berstatus kepala negara, sama sekali tidak terlibat dalam operasi militer tersebut. Perang di wilayah negerinya sepenuhnya dikuasai Inggris. Tentara Mesir sendiri tidak ikut serta dalam pertempuran karena alasan politik dan keterbatasan kekuatan. Kondisi ini semakin menunjukkan lemahnya posisi Farouk di mata rakyatnya.

Di satu sisi, Farouk menyimpan ketidaksenangan terhadap Inggris. Ia merasa negaranya diperlakukan seperti koloni dan dirinya hanyalah boneka yang tak punya kuasa menentukan nasib bangsanya sendiri. Namun di sisi lain, situasi perang membuat Farouk tidak punya banyak pilihan selain membiarkan Inggris mendominasi panggung militer Mesir.

Posisi Raja Farouk makin rumit ketika ia harus memecat Perdana Menteri Ali Mahir Pasha pada 1940 atas tekanan Inggris. Mahir Pasha dianggap terlalu pro-Jerman dan anti-Inggris. Farouk pun menunjuk Hassan Sabry Pasha sebagai penggantinya, meski keputusan itu dilakukan di bawah pengawasan ketat Inggris.

Kekalahan Italia di Mesir menjadi pukulan telak bagi Mussolini. Pasukannya yang dipermalukan di gurun Mesir memaksa Hitler mengirimkan Afrika Korps di bawah komando Jenderal Erwin Rommel untuk menyelamatkan posisi Poros di Afrika Utara. Perang pun berlanjut dengan pertempuran sengit antara Rommel dan pasukan Inggris di El Alamein.

Sementara itu, di dalam negeri Mesir, kekalahan Italia menjadi peristiwa yang diamati rakyat Mesir dengan diam-diam. Meski secara formal mendukung Sekutu, banyak kalangan nasionalis Mesir diam-diam berharap Poros bisa mengusir Inggris dari Mesir. Farouk sendiri berada di posisi serba salah antara menjaga hubungan dengan Inggris dan mempertahankan simpati rakyatnya.

Pada saat bersamaan, kekalahan Italia juga memperkuat posisi militer Inggris di Mesir. Inggris meningkatkan jumlah pasukan dan membangun pangkalan-pangkalan strategis di sepanjang Terusan Suez. Hal ini semakin menekan ruang gerak politik Raja Farouk, yang tak bisa berbuat banyak menghadapi pengaruh asing di negerinya.

Di mata banyak rakyat Mesir, Farouk mulai dipandang sebagai penguasa lemah dan lebih mementingkan kemewahan istana daripada perjuangan kemerdekaan. Isu soal gaya hidup glamor Farouk di tengah penderitaan rakyat saat perang turut merusak citra kerajaan di mata publik.

Perang Dunia II pun berakhir tanpa perubahan signifikan di Mesir. Farouk tetap bertahan di tahtanya, namun ketegangan politik di dalam negeri makin meningkat. Kekecewaan terhadap ketidakberdayaan Farouk selama perang menjadi bahan bakar bagi gerakan nasionalis yang kian berkembang.

Akhirnya, pada tahun 1952, kelompok perwira muda Mesir yang dikenal sebagai Gerakan Perwira Bebas di bawah Gamal Abdel Nasser melakukan kudeta. Farouk dipaksa turun tahta dan diasingkan ke Italia. Monarki Mesir dihapuskan, dan republik berdiri di atas puing-puing rezim lama.

Peristiwa kudeta tersebut menjadi klimaks dari rangkaian ketegangan politik yang dimulai sejak Perang Dunia II. Kelemahan Farouk dalam menghadapi dominasi Inggris serta ketidakmampuannya menempatkan diri di antara rakyatnya membuat monarki kehilangan legitimasinya.

Kekalahan Italia di Mesir, posisi ambigu Farouk, dan dominasi Inggris menjadi bagian dari mozaik sejarah Mesir modern. Perang Dunia II di tanah Mesir bukan hanya soal pertempuran antar bangsa asing, tetapi juga tentang pergulatan sebuah bangsa yang mencari jalan menuju kemerdekaan sejati.

📌 Pasca-Perang

Setelah Perang Dunia II:

Farouk semakin tidak populer karena dianggap sebagai boneka Inggris.

Tahun 1952, militer Mesir yang dipimpin Gamal Abdel Nasser dan kelompok Perwira Bebas melakukan kudeta, yang menggulingkan Farouk dan menghapus monarki Mesir.


Partuppuan Sinaga Dohot Boru Muslim (Parsidomu)

Juli 02, 2025 Add Comment
Persadaan Pomparan Toga Sinaga Dohot Boru (PPTSB) Cabang Partuppuan Sinaga Dohot Boru Muslim (Parsidomu) satukan berbagai budaya di Sumatera Utara. Hal itu disampaikan oleh Ketua Terpilih, M Ismail P Sinaga, saat pelantikan PPTSB Cabang Parsidomu di Aula Raja Inal Siregar, Kantor Gubernur Sumatera Utara, Jalan Diponegoro Medan, Sumatera Utara, Sabtu (10/12/2022) kemarin.

"Terima kasih kepada pengurus PPTSB Pusat dan PPTSB Wilayah Sumu 1, di mana hari ini telah diresmikan PPTSB Cabang Parsidomu Wilayah Sumut 1," ungkap M Ismail P Sinaga, sebagai Ketua Terpilih periode 2022-2026. Ia menegaskan, bahwa dibentuknya wadah perkumpulan marga Sinaga merupakan sebagai wadah dalam menjalin tali silaturahmi.

Dikatakan Ismail yang juga Kepala Badan Pengelolaan  Keuangan dan Aset Daerah (Kaban PKAD) ini, bahwa Kita harus banyak berprestasi di lingkungan masyarakat dan ini tentu menjadi penerus cita-cita orang tua kita yaitu berbuat banyak untuk bangsa dan negara yaitu melalui kemajuan Sumatera Utara," tegasnya.

Dalam mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika,  marga Sinaga khususnya di Wilayah Sumut 1, dikatakannya telah sudah lama eksis dengan berbagai tokoh-tokoh marga Sinaga. "Tokoh-tokoh marga Sinaga sudah banyak berperan untuk bagaimana mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Banyak juga orang-orang dalam perkumpulan di Sumatera Utara maupun tingkat nasional, seperti profesi aparatur negara maupun swasta. Mari kita satukan visi dan misi dalam membangun Sumatera Utara dari berbagai budaya melalui marga sinaga," katanya.

Pada kesempatan itu, sebagai Penasehat PPTSB Wilayah Sumut 1, Sulaiman Sinaga, menjelaskan bahwa perjalanan evolusi marga Sinaga telah melahirkan marga Sinaga dengan berbagai budaya, suku dan ras.

"Perlu kami sampaikan, opung kami sinaga dahulu itu satu. Di dalam perjalanan, bahwa Sinaga ini merantau atau menyebar di seluruh daerah, maka muncul lah Sinaga-sinaga dengan bermacam-macam Sinaga-sinaga yang melakukan berbeda-beda budaya. Pertama ada budaya Toba, ada budaya Simalungun, ada budaya Karo, budaya Dairi dan macam-macam budaya lainnya," jelasnya. Sulaiman Sinaga memaparkan, marga Sinaga memiliki keturunan dan lahir dari berbagai agama di antaranya dari Islam dan Kristen.

"Ada berbudaya adat Simalungun Toba dan mungkin ke depan ada juga yang beradat melayu. Inilah adalah bagian daripada evolusi," paparnya. Senada, ia juga berharap bahwa marga Sinaga ini dapat bersatu dalam wadah marga Sinaga dari berbagai budaya, suku dan ras, katanya.

Dalam pelantikan tersebut, Ketua PPTSB Pusat, Edison Sinaga, melalui Ketua Pengurus PPTSB Wilayah Sumut 1, Sairon Sinaga, secara simbolis, menyerahkan bendera petaka kepada Ketua terpilih PPTSB Cabang PARSIDOMU Wilayah Sumut 1, M Ismali P Sinaga. Pada Susunan kepengurusan periode 2022-2023, ditetapakan Harjoko Sinaga sebagai Seketaris dan Hasrul Sinaga sebagai Bendahara.

Sementara itu, Ketum Pujakesuma Bersatu H santoso mengapresiasi perkumpulan Marga Sinaga yang diketuai oleh M Ismail P Sinaga, dengan Perkumpulan itu tentunya bisa lebih muda berkolaborasi bersama  berbagai etnis khususnya di Sumatera Utara.

"Selamat dan sukses atas terpilihan Drs H M Ismail P Sinaga sebagai Ketua  Persadaan Pomparan Toga Sinaga Dohot Boru (PPTSB) Cabang Partuppuan Sinaga Dohot Boru Muslim (Parsidomu. Semoga bisa bersama-sama menjaga keutuhan melestarikan budaya khususnya di Sumatera Utara, "kata H Santoso Ketua Pujakesuma Bersatu yang juga anggota DPRD Sumatera Utara. didampingi Ketua Harian Rianto Ahgly SH.

Ditempat terpisah, H farianda Putra Sinik SE selaku Ketua DPW Persatuan Keluarga Daerah Piaman (PKDP) Sumut, menagatakan sosok Ismail Sinaga sangat tetap memimpin persatuan marga sinaga. Karena dengan terpilnya Ismail sebagai Ketua Persadaan Pomparan Toga Sinaga Dohot Boru (PPTSB) Cabang Partuppuan Sinaga Dohot Boru Muslim (Parsidomu) bisa memberi warga dalam menjaga dan melestarikan budaya di Sumatara Utara.

"Selamat dan sukses terpilih Ismail Sinaga sebagai Ketua Marga Sinaga. Dengan harapan bisa memajukan budaya dan melestarikan dan tetap menjaga kerukunan umat," kata Farianda yang juga ketua PWI ini.


Baca selanjutnya

Suriah Dorong Pertumbuhan Ekosistem Startup Digital untuk Rekonstruksi dan Pemulihan Ekonomi

Juli 02, 2025 Add Comment


Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi Suriah kembali menunjukkan komitmennya dalam mendorong pertumbuhan ekosistem bisnis digital di tanah air. Pada Selasa, sebuah forum diskusi nasional digelar di Hotel Sheraton Damaskus, mempertemukan perwakilan ratusan perusahaan rintisan dengan para pengambil kebijakan pemerintah. Kegiatan ini menjadi bagian dari langkah serius Suriah membangun kembali ekonominya lewat jalur inovasi teknologi.

Acara bertajuk “KTT Perusahaan Nasional Menuju Solusi Baru dan Masa Depan” ini menghadirkan lebih dari 140 startup dari berbagai provinsi di Suriah. Forum ini menjadi wadah langka yang mempertemukan pemilik usaha digital dengan pejabat kementerian, regulator, dan asosiasi bisnis dalam suasana dialog terbuka.

Dalam forum tersebut, peserta mendiskusikan sejumlah tantangan yang masih dihadapi kalangan startup di Suriah. Mulai dari kesulitan akses permodalan, hambatan birokrasi, terbatasnya fasilitas internet berkualitas, hingga perlunya sistem hukum yang jelas bagi pelaku usaha digital.

Banyak masukan muncul mengenai pentingnya klasifikasi adil bagi perusahaan rintisan serta penerapan kebijakan insentif bagi startup berbasis solusi lokal. Peserta berharap pemerintah mempermudah prosedur pendirian usaha, menciptakan ruang kerja bersama, hingga membangun platform database nasional startup di Suriah.

Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi, Abdel Salam Haykal, dalam sambutannya menyebutkan bahwa Suriah kini memasuki fase baru. Pemerintah, kata Haykal, serius memperbaiki infrastruktur digital dan membangun regulasi bisnis digital modern yang mampu mendorong peran generasi muda di sektor ekonomi berbasis teknologi.

Ia menegaskan bahwa kementeriannya menargetkan Suriah menjadi salah satu negara dengan infrastruktur digital terbaik di kawasan dalam beberapa tahun mendatang. Peningkatan layanan internet, sistem pembayaran daring, dan penguatan keamanan data menjadi prioritas yang tengah dikejar.

Menurut Haykal, pemerintah kini aktif bekerja sama lintas kementerian untuk menyiapkan berbagai fasilitas pendukung startup. Mulai dari penyederhanaan perizinan, akses pelatihan, hingga pembentukan inkubator bisnis digital nasional di beberapa kota besar Suriah.

Wakil Menteri Komunikasi, Mahmoud Moussa, menyampaikan bahwa ekonomi digital adalah sektor strategis untuk mempercepat pemulihan Suriah pascaperang. Ia menilai, perusahaan rintisan mampu menciptakan peluang kerja, inovasi layanan publik, dan solusi cerdas di berbagai sektor.

Staf Khusus Inovasi dan Kewirausahaan di Kementerian Komunikasi, Ahmad Bayram, menyebut bahwa forum ini merupakan bagian dari agenda nasional untuk mengembangkan ekosistem bisnis digital yang sehat dan kompetitif. Bayram menilai kehadiran lebih dari seratus startup di acara ini menunjukkan antusiasme pelaku usaha lokal terhadap peluang di era digital.

Bayram juga menyebut bahwa pemerintah berencana menyusun paket kebijakan khusus untuk mendukung startup di bidang kecerdasan buatan, e-commerce, layanan kesehatan digital, dan otomasi proses pemerintahan. Sektor-sektor ini dipandang potensial mendorong akselerasi transformasi digital Suriah.

Sementara itu, Direktur Pusat Keamanan Informasi Nasional, Jihad Alala, menjelaskan kebijakan baru terkait penyederhanaan proses perizinan aplikasi elektronik di Suriah. Menurutnya, regulasi yang lebih adaptif telah disiapkan untuk mendukung ekosistem startup aplikasi lokal.

Alala menambahkan, kementerian juga menyiapkan standar keamanan data baru guna melindungi informasi pribadi pengguna dari potensi ancaman siber. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap layanan digital lokal yang mulai berkembang pesat.

Para peserta forum sepakat bahwa sektor startup bisa menjadi mesin utama pemulihan ekonomi nasional bila didukung infrastruktur digital yang memadai dan lingkungan bisnis yang ramah investasi. Mereka berharap agar pemerintah lebih aktif menjalin kerja sama dengan sektor swasta.

Salah satu peserta, pengembang aplikasi kesehatan daring asal Homs, menyatakan bahwa forum ini membuka harapan baru bagi kalangan startup di Suriah. Ia mengaku optimistis dengan langkah pemerintah yang mulai membuka ruang dialog dan dukungan konkret bagi pelaku bisnis digital.

Sebagai tindak lanjut dari forum ini, kementerian berencana menyusun peta jalan pengembangan startup nasional, yang mencakup pelatihan, pendanaan, serta program akselerasi bisnis. Rencana ini diharapkan dapat dirilis resmi sebelum akhir tahun.

Berbagai pihak memandang forum ini sebagai momentum penting, menandai kebangkitan sektor ekonomi kreatif di Suriah setelah lebih dari satu dekade diterpa konflik. Kini, perhatian pemerintah mulai terarah pada inovasi dan teknologi sebagai pilar pembangunan ekonomi baru.

Analis ekonomi di Damaskus menilai, bila program startup ini dikelola serius, Suriah berpeluang menjadi salah satu pemain digital regional. Apalagi, negara ini dikenal memiliki banyak lulusan teknik dan ilmu komputer dari kampus-kampus ternama yang selama ini kurang mendapat ruang aktualisasi.

Dengan semangat baru ini, Suriah ingin menata kembali posisinya di kawasan Timur Tengah, tidak hanya sebagai negara yang bangkit dari krisis, tetapi juga sebagai pusat inovasi digital dan startup di kawasan. Pemerintah optimistis, dengan talenta muda lokal dan dukungan infrastruktur yang diperkuat, impian ini bisa terwujud dalam waktu dekat.