Status Kashmir, Hyderabad, Golan, dan Krimea di PBB

Juli 04, 2025

Sejak kemerdekaan India dan Pakistan dari Inggris pada 1947, berbagai wilayah bekas kerajaan di anak benua itu menghadapi dilema untuk menentukan nasibnya. Di antara sekian banyak wilayah, sengketa Kashmir dan aneksasi Hyderabad menjadi dua kasus paling sensitif yang memicu reaksi keras di kawasan dan menarik perhatian dunia internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga kini masih memandang Kashmir sebagai wilayah sengketa, sementara kasus Hyderabad nyaris terlupakan dari ingatan dunia.

Ketegangan di Kashmir bermula ketika Maharaja Hari Singh, penguasa negara kerajaan Jammu dan Kashmir, memutuskan bergabung dengan India di tengah invasi kelompok bersenjata dari Pakistan. India kemudian mengirim pasukan ke wilayah itu setelah Maharaja menandatangani akta bergabung ke India pada Oktober 1947. Keputusan ini menimbulkan perlawanan dari Pakistan yang menganggap Kashmir sebagai wilayah dengan mayoritas Muslim yang seharusnya bergabung dengan negaranya.

PBB segera turun tangan dengan mengeluarkan Resolusi 47 pada April 1948 yang menyerukan referendum di Kashmir untuk menentukan apakah wilayah itu ingin bergabung dengan India atau Pakistan. Namun hingga kini referendum tersebut tak pernah dilakukan. PBB juga membentuk United Nations Military Observer Group in India and Pakistan (UNMOGIP) untuk memantau gencatan senjata di sepanjang Line of Control (LoC) yang membelah Kashmir.

Berbeda dengan Kashmir, Hyderabad adalah negara kerajaan terbesar di anak benua India pada 1947, diperintah oleh Nizam Mir Osman Ali Khan. Meski mayoritas penduduknya Muslim, Hyderabad saat itu berpenduduk mayoritas Hindu. Nizam memilih untuk tidak bergabung dengan India maupun Pakistan dan ingin tetap merdeka, sebuah keputusan yang ditolak oleh pemerintah India karena dinilai membahayakan integritas nasional.

Ketegangan pun memuncak ketika India melancarkan operasi militer bernama Operation Polo pada September 1948. Dalam waktu lima hari, pasukan India berhasil menguasai Hyderabad dan memaksa Nizam menyerahkan kekuasaan. India menyebut aksi tersebut sebagai urusan domestik, sementara Pakistan mengecam keras dan melaporkan tindakan India ke Dewan Keamanan PBB.

Meski Pakistan telah mengadukan kasus ini ke PBB, tidak ada resolusi tegas yang dihasilkan terkait Hyderabad. PBB lebih memprioritaskan konflik Kashmir yang dinilai lebih berpotensi memicu perang terbuka. Akhirnya, aneksasi Hyderabad oleh India diterima secara de facto oleh komunitas internasional tanpa pengakuan resmi dari PBB, dan kasusnya menghilang dari agenda dunia.

Perbedaan mencolok pun tampak jika dibandingkan dengan kasus Dataran Tinggi Golan. Wilayah Suriah itu direbut Israel dalam Perang Enam Hari 1967 dan dianeksasi sepihak pada 1981. Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 497 menyatakan bahwa aneksasi itu tidak sah dan melanggar hukum internasional. Hingga kini, mayoritas anggota PBB tetap menganggap Golan sebagai wilayah pendudukan Israel.

Kasus Krimea pun memperlihatkan dinamika serupa ketika Rusia mencaplok semenanjung itu dari Ukraina pada 2014. Rusia kemudian menggelar referendum yang hasilnya diklaim menunjukkan mayoritas warga memilih bergabung dengan Rusia. PBB dan Barat menolak hasil referendum itu karena dianggap dilakukan di bawah tekanan militer dan melanggar kedaulatan Ukraina.

Dewan Umum PBB segera mengeluarkan Resolusi 68/262 yang menegaskan bahwa kedaulatan dan keutuhan wilayah Ukraina harus dihormati. Resolusi ini didukung oleh lebih dari 100 negara anggota PBB, sementara sebagian kecil menolak dan puluhan lainnya abstain. Meski begitu, Rusia tetap mempertahankan Krimea secara de facto.

Dari ketiga kasus ini, ada persamaan dalam hal penggunaan kekuatan militer untuk menguasai wilayah sengketa. Baik India di Hyderabad dan Kashmir, Israel di Golan, maupun Rusia di Krimea, semuanya menggunakan dalih keamanan dan kestabilan nasional untuk melegitimasi aksinya. Namun, tanggapan PBB atas ketiganya tidak seragam.

PBB secara aktif mengecam aneksasi Golan dan Krimea melalui resolusi tegas, sementara terhadap Hyderabad, PBB nyaris tidak mengeluarkan pernyataan atau keputusan resmi. Hal ini memperlihatkan bagaimana faktor geopolitik dan kepentingan negara besar di Dewan Keamanan PBB mempengaruhi respons lembaga dunia itu.

Perbedaan lain terlihat dalam penyikapan referendum. India menolak gagasan referendum di Kashmir, sementara Rusia justru menggelar referendum di Krimea meskipun ditolak dunia internasional. Di Golan, Israel tak pernah menggelar referendum, melainkan langsung mengumumkan aneksasi sepihak.

Kasus Hyderabad menjadi anomali karena meski ada pengaduan dari Pakistan, PBB memilih diam tanpa tindakan konkret. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa pada saat itu, situasi di Kashmir dianggap lebih mendesak dan potensi perangnya lebih besar. Selain itu, India menolak tegas segala bentuk campur tangan PBB dalam urusan domestik.

Dalam konteks Kashmir, PBB masih menyatakan wilayah itu sebagai sengketa internasional yang belum terselesaikan. Hingga kini, resolusi tentang referendum masih berlaku di atas kertas, sementara gencatan senjata dipantau oleh UNMOGIP. Meski begitu, referendum yang diamanatkan PBB tak pernah terwujud sejak 1948.

Dataran Tinggi Golan dan Krimea kini mengalami penguasaan de facto oleh Israel dan Rusia, serupa dengan situasi Kashmir yang tetap dikendalikan India. Di ketiga wilayah itu, kekuatan militer dijadikan alat utama untuk mempertahankan status quo, sementara PBB hanya mampu mengeluarkan resolusi tanpa kekuatan eksekusi nyata.

Konflik di Kashmir, Hyderabad, Golan, dan Krimea menunjukkan bahwa hukum internasional kerap tak mampu berjalan beriringan dengan realitas geopolitik. Kepentingan negara-negara besar di Dewan Keamanan PBB menjadi faktor penentu dalam penanganan sengketa wilayah, tak selalu sejalan dengan prinsip keadilan atau kedaulatan rakyat.

Di mata PBB, hingga kini Kashmir tetap diakui sebagai wilayah sengketa yang belum final. Krimea masih dianggap bagian dari Ukraina, dan Dataran Tinggi Golan milik Suriah. Anehnya, kasus Hyderabad nyaris tak pernah lagi disebut dalam perdebatan internasional, meski sempat memicu ketegangan pada masanya.

Kisah ini menjadi pengingat bahwa dunia internasional seringkali selektif dalam menyikapi konflik wilayah. Faktor kekuatan militer, posisi strategis, dan hubungan dengan negara-negara besar di Dewan Keamanan PBB lebih menentukan daripada prinsip hukum semata. Dan selama kondisi itu berlangsung, nasib rakyat di wilayah-wilayah sengketa akan terus berada dalam ketidakpastian panjang.

Selain Kashmir, Hyderabad, Golan, dan Krimea, ada pula sejumlah wilayah lain di dunia yang statusnya masih diperdebatkan di panggung internasional. Beberapa di antaranya adalah Abkhazia dan Ossetia Selatan di Georgia, Kosovo di Balkan, serta Transnistria di Moldova. Wilayah-wilayah ini menunjukkan bagaimana persoalan kedaulatan dan aneksasi kerap menjadi arena tarik-menarik antara kekuatan regional dan negara-negara besar, dengan PBB berada di tengah dilema hukum dan politik global.

Abkhazia dan Ossetia Selatan adalah dua wilayah separatis di negara Georgia yang mendeklarasikan kemerdekaan setelah bubarnya Uni Soviet pada 1991. Ketegangan di kedua wilayah ini terus meningkat, terutama setelah Perang Georgia-Rusia pada Agustus 2008, yang berakhir dengan pasukan Rusia menguasai kedua wilayah tersebut. Sejak saat itu, Rusia secara resmi mengakui kemerdekaan Abkhazia dan Ossetia Selatan, diikuti oleh segelintir negara lain.

Namun, mayoritas anggota PBB hingga kini tetap menganggap Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai bagian sah dari wilayah Georgia. Dewan Umum PBB telah beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang menegaskan dukungan atas keutuhan wilayah Georgia, sementara Rusia tetap mempertahankan pasukannya di kedua wilayah tersebut. Situasi ini menjadikan kedua kawasan itu sebagai wilayah de facto yang merdeka dengan dukungan militer Rusia, namun tanpa legitimasi luas dari komunitas internasional.

Di kawasan Balkan, status Kosovo juga menjadi salah satu isu pelik dalam hukum internasional. Setelah konflik panjang dengan Serbia dan intervensi militer NATO pada 1999, Kosovo akhirnya mendeklarasikan kemerdekaan secara sepihak pada 17 Februari 2008. Sejumlah negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman segera mengakui Kosovo sebagai negara merdeka, namun Serbia dan sekutu-sekutunya, termasuk Rusia dan Tiongkok, menolak pengakuan tersebut.

PBB sendiri hingga kini bersikap hati-hati terhadap status Kosovo. Meskipun lebih dari 100 negara anggota PBB telah mengakui kemerdekaan Kosovo, PBB belum pernah secara resmi menerima Kosovo sebagai anggota karena veto Rusia dan Tiongkok di Dewan Keamanan. Kosovo tetap berada dalam status ambigu di mata hukum internasional, dengan banyak negara mengakui, namun sebagian lainnya tetap memandangnya sebagai provinsi milik Serbia.

Selain itu, ada juga Transnistria, wilayah kecil yang memisahkan diri dari Moldova pada awal 1990-an setelah Uni Soviet runtuh. Seperti halnya Abkhazia dan Ossetia Selatan, Transnistria mempertahankan pemerintahan sendiri, mata uang, serta militer sendiri, meski tak diakui oleh negara anggota PBB mana pun, termasuk Rusia yang menjadi pelindung utama wilayah tersebut. PBB dan Uni Eropa tetap menganggap Transnistria sebagai bagian dari Moldova.

Meski begitu, hingga kini Transnistria menjalankan pemerintahan de facto dan memiliki hubungan khusus dengan Moskow. Wilayah ini juga menjadi basis kekuatan militer Rusia di perbatasan Eropa Timur, dan kerap disebut sebagai ‘negara hantu’ karena keberadaannya diakui hanya oleh sesama wilayah separatis dan tidak di panggung internasional resmi.

Persamaan antara kasus Abkhazia, Ossetia Selatan, Kosovo, dan Transnistria dengan Kashmir, Golan, Krimea, dan Hyderabad terletak pada keberadaan kekuatan militer asing atau dukungan negara besar yang mempertahankan status quo. Semua wilayah ini menunjukkan bagaimana campur tangan militer atau dukungan geopolitik bisa menentukan eksistensi sebuah negara atau wilayah tanpa harus mendapat pengakuan internasional penuh.

Di sisi lain, perbedaan mencolok tampak dalam respons PBB. Jika di Kashmir dan Krimea PBB mengeluarkan resolusi khusus, di Abkhazia, Ossetia Selatan, dan Transnistria, PBB lebih banyak mengandalkan pernyataan politik dan dukungan terhadap keutuhan wilayah negara induk tanpa operasi pengawasan militer langsung seperti UNMOGIP di Kashmir. Sedangkan Kosovo, meski mendapat dukungan luas, tetap terganjal keanggotaannya di PBB karena veto Dewan Keamanan.

Wilayah-wilayah tersebut menjadi cerminan bagaimana hukum internasional masih bersifat selektif, tergantung pada kekuatan politik negara-negara besar yang memiliki hak veto di PBB. Situasi ini juga menegaskan bahwa penyelesaian konflik wilayah seringkali lebih ditentukan oleh kekuatan militer dan pengaruh politik global, ketimbang prinsip-prinsip hukum dan keadilan bagi masyarakat lokal yang terdampak langsung.

Share this

Related Posts

Latest
Previous
Next Post »