Raja Farouk dan Kekalahan Italia di Mesir

Juli 02, 2025

Raja Farouk I adalah penguasa Mesir saat Perang Dunia II, yang memerintah sejak 1936 hingga 1952. Farouk bukan keturunan Dinasti Mamluk Mesir, melainkan keturunan langsung dari keluarga Muhammad Ali Pasha, seorang jenderal asal Albania di Kesultanan Utsmaniyah yang merebut kekuasaan di Mesir pada awal abad ke-19. Muhammad Ali Pasha dikenal sebagai pendiri Dinasti Muhammad Ali yang menguasai Mesir selama lebih dari satu abad.

Dinasti ini awalnya adalah bagian dari struktur kekuasaan Utsmaniyah, namun secara de facto menjadi dinasti kerajaan independen. Keluarga Farouk, termasuk ayahnya Raja Fuad I, adalah keturunan langsung Muhammad Ali Pasha. Jadi, meski bergelar raja Mesir, Farouk mewarisi darah bangsawan Balkan, bukan garis keturunan penguasa Mamluk yang sebelumnya berkuasa di Mesir pada abad pertengahan.

Perang Dunia II tidak hanya menjadi ajang pertempuran negara-negara besar di Eropa, tetapi juga merembet hingga Afrika Utara. Salah satu panggung penting perang tersebut terjadi di Mesir, di mana pasukan Italia mencoba menerobos ke Terusan Suez untuk menggoyahkan posisi Inggris di Timur Tengah. Namun, upaya tersebut berakhir dengan kekalahan telak dan menjadi salah satu episode paling memalukan bagi Italia dalam sejarah perangnya.

Pada saat itu, Mesir dipimpin oleh Raja Farouk I, seorang penguasa muda yang naik tahta pada 1936 menggantikan ayahnya, Raja Fuad I. Farouk mewarisi sebuah kerajaan yang secara formal merdeka sejak 1922, namun masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Inggris. Terusan Suez yang menjadi jalur vital Inggris ke India dan koloni-koloni Asia menjadikan Mesir sebagai titik strategis yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh London.

Saat Perang Dunia II meletus, Raja Farouk berusaha mempertahankan posisi netral bagi Mesir. Namun, netralitas itu tak berarti banyak ketika Inggris tetap menempatkan pasukannya di wilayah Mesir untuk melindungi Terusan Suez dari ancaman Poros, khususnya Italia dan Jerman. Meski tak menyukai dominasi Inggris, Farouk terpaksa menerima keberadaan militer asing di negerinya.

Situasi semakin panas ketika Italia di bawah Benito Mussolini menyerang Mesir dari Libya pada tahun 1940. Dengan ambisi merebut Terusan Suez, pasukan Italia di bawah komando Marshal Graziani mencoba menembus perbatasan Mesir. Dalam waktu singkat, mereka berhasil masuk ke wilayah Mesir dan menguasai beberapa titik di daerah gurun barat.

Namun, tentara Inggris yang dipimpin oleh Komandan Archibald Wavell langsung melakukan perlawanan. Pasukan Inggris bersama tentara persemakmuran dari India, Australia, dan Selandia Baru melakukan serangan balasan dalam operasi yang dikenal sebagai Operasi Compass. Hasilnya sangat memalukan bagi Italia, di mana lebih dari 130.000 tentara mereka ditangkap dan peralatan perang dalam jumlah besar direbut.

Raja Farouk, meski secara resmi berstatus kepala negara, sama sekali tidak terlibat dalam operasi militer tersebut. Perang di wilayah negerinya sepenuhnya dikuasai Inggris. Tentara Mesir sendiri tidak ikut serta dalam pertempuran karena alasan politik dan keterbatasan kekuatan. Kondisi ini semakin menunjukkan lemahnya posisi Farouk di mata rakyatnya.

Di satu sisi, Farouk menyimpan ketidaksenangan terhadap Inggris. Ia merasa negaranya diperlakukan seperti koloni dan dirinya hanyalah boneka yang tak punya kuasa menentukan nasib bangsanya sendiri. Namun di sisi lain, situasi perang membuat Farouk tidak punya banyak pilihan selain membiarkan Inggris mendominasi panggung militer Mesir.

Posisi Raja Farouk makin rumit ketika ia harus memecat Perdana Menteri Ali Mahir Pasha pada 1940 atas tekanan Inggris. Mahir Pasha dianggap terlalu pro-Jerman dan anti-Inggris. Farouk pun menunjuk Hassan Sabry Pasha sebagai penggantinya, meski keputusan itu dilakukan di bawah pengawasan ketat Inggris.

Kekalahan Italia di Mesir menjadi pukulan telak bagi Mussolini. Pasukannya yang dipermalukan di gurun Mesir memaksa Hitler mengirimkan Afrika Korps di bawah komando Jenderal Erwin Rommel untuk menyelamatkan posisi Poros di Afrika Utara. Perang pun berlanjut dengan pertempuran sengit antara Rommel dan pasukan Inggris di El Alamein.

Sementara itu, di dalam negeri Mesir, kekalahan Italia menjadi peristiwa yang diamati rakyat Mesir dengan diam-diam. Meski secara formal mendukung Sekutu, banyak kalangan nasionalis Mesir diam-diam berharap Poros bisa mengusir Inggris dari Mesir. Farouk sendiri berada di posisi serba salah antara menjaga hubungan dengan Inggris dan mempertahankan simpati rakyatnya.

Pada saat bersamaan, kekalahan Italia juga memperkuat posisi militer Inggris di Mesir. Inggris meningkatkan jumlah pasukan dan membangun pangkalan-pangkalan strategis di sepanjang Terusan Suez. Hal ini semakin menekan ruang gerak politik Raja Farouk, yang tak bisa berbuat banyak menghadapi pengaruh asing di negerinya.

Di mata banyak rakyat Mesir, Farouk mulai dipandang sebagai penguasa lemah dan lebih mementingkan kemewahan istana daripada perjuangan kemerdekaan. Isu soal gaya hidup glamor Farouk di tengah penderitaan rakyat saat perang turut merusak citra kerajaan di mata publik.

Perang Dunia II pun berakhir tanpa perubahan signifikan di Mesir. Farouk tetap bertahan di tahtanya, namun ketegangan politik di dalam negeri makin meningkat. Kekecewaan terhadap ketidakberdayaan Farouk selama perang menjadi bahan bakar bagi gerakan nasionalis yang kian berkembang.

Akhirnya, pada tahun 1952, kelompok perwira muda Mesir yang dikenal sebagai Gerakan Perwira Bebas di bawah Gamal Abdel Nasser melakukan kudeta. Farouk dipaksa turun tahta dan diasingkan ke Italia. Monarki Mesir dihapuskan, dan republik berdiri di atas puing-puing rezim lama.

Peristiwa kudeta tersebut menjadi klimaks dari rangkaian ketegangan politik yang dimulai sejak Perang Dunia II. Kelemahan Farouk dalam menghadapi dominasi Inggris serta ketidakmampuannya menempatkan diri di antara rakyatnya membuat monarki kehilangan legitimasinya.

Kekalahan Italia di Mesir, posisi ambigu Farouk, dan dominasi Inggris menjadi bagian dari mozaik sejarah Mesir modern. Perang Dunia II di tanah Mesir bukan hanya soal pertempuran antar bangsa asing, tetapi juga tentang pergulatan sebuah bangsa yang mencari jalan menuju kemerdekaan sejati.

📌 Pasca-Perang

Setelah Perang Dunia II:

Farouk semakin tidak populer karena dianggap sebagai boneka Inggris.

Tahun 1952, militer Mesir yang dipimpin Gamal Abdel Nasser dan kelompok Perwira Bebas melakukan kudeta, yang menggulingkan Farouk dan menghapus monarki Mesir.


Share this

Related Posts

Latest
Previous
Next Post »